NEW YORK (Arrahmah.com) – Dalam laporan terbaru yang dirilis pada Senin (19/4/2021), oleh Human Rights Watch (HRW) dan Klinik Penyelesaian Konflik dan Hak Asasi Manusia Sekolah Hukum Stanford, disebutkan bahwa pemerintah Cina telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim Uighur dan minoritas Turki lainnya di wilayah Xinjiang.
Laporan berjudul “Break Their Lineage, Break Their Roots (Putus garis keturunan mereka, musnahkan asal mereka)” disimpulkan bahwa Beijing melakukan kebijakan sistematis dan meluas atas penahanan massal, penyiksaan, kekerasan budaya, dan pelanggaran lainnya.
“Otoritas Cina telah secara sistematis menganiaya Muslim baik hidup mereka, agama mereka, dan budaya mereka,” kata Sophie Richardson, direktur HRW Cina, dalam laporan itu, dilansir Deutsche Welle (20/4).
“Beijing mengatakan pihaknya menyediakan pelatihan kejuruan dan deradikalisasi tetapi retorika itu tidak dapat mengaburkan realitas suram kejahatan terhadap kemanusiaan,” ungkap Sophie.
HRS mendesak agar segera dibentuk komisi penyelidikan (COI) karena telah terjadi penahanan, perampasan kemerdekaan yang melanggar hukum internasional, penganiayaan terhadap kelompok etnis atau agama, penghilangan paksa, penyiksaan, pembunuhan, dugaan tindakan tidak manusiawi yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan hebat atau cedera serius pada kesehatan mental atau fisik, kerja paksa, dan kekerasan seksual.
“COI harus terdiri dari orang-orang terkemuka, termasuk ahli hukum hak asasi manusia internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan, hak etnis dan agama minoritas, dan masalah gender,” desak laporan itu.
HRW memperkirakan 1 juta orang telah ditahan di 300 hingga 400 fasilitas penahanan di seluruh Xinjiang sejak tahun 2017, dan pengadilan di wilayah tersebut pun diduga menjatuhkan hukuman penjara yang berat tanpa adanya proses hukum.
Dunia internasional telah berkali-kali mengeritik Cina karena mendirikan sejumlah fasilitas yang digambarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai tempat penahanan, di mana lebih sejuta muslim Uyghur dan warga muslim lainnya ditempatkan. Beijing menyatakan, langkah itu harus diambil untuk mengatasi ancaman dari militan Islam.
“Menurut statistik resmi, penangkapan di Xinjiang menyumbang hampir 21% dari semua penangkapan di Cina pada tahun 2017, meskipun orang-orang di Xinjiang hanya 1,5% dari total populasi,” kata laporan itu.
Selain itu, bukti menunjukkan bahwa otoritas di Xinjiang telah menggunakan berbagai cara untuk merusak atau menghancurkan setidaknya dua pertiga masjid di Xinjiang.
Otoritas lokal juga menerapkan jaringan pengawasan yang luas di seluruh wilayah dengan mengumpulkan sampel DNA, sidik jari, pemindaian mata, dan golongan darah penduduk Xinjiang yang berusia antara 12 dan 65 tahun. (hanoum/arrahmah.com)