RIYADH (Arrahmah.id) – Pasukan Amerika dan Jerman melatih tentara Saudi yang dituduh melakukan “pembunuhan massal yang disengaja” di perbatasan dengan Yaman, menurut laporan The Guardian.
Laporan tersebut mengatakan bahwa kepolisian federal Jerman dan militer AS terlibat dalam pelatihan tentara Saudi yang saat ini sedang diselidiki oleh PBB atas pelanggaran yang dilakukan di perbatasan Arab Saudi dengan tetangganya di bagian selatan.
Berdasarkan perjanjian pelatihan AS, Washington diharuskan memantau bagaimana pelatihan tersebut digunakan. Perjanjian tersebut juga menyatakan bahwa mereka yang dilatih hanya diperbolehkan beroperasi secara defensif, untuk melindungi diri mereka sendiri dan lokasi mereka dari serangan.
The Guardian melaporkan bahwa pihak berwenang Saudi menganggap serangan ilegal di sepanjang perbatasan Yaman-Saudi sebagai isu “kontra-terorisme”, yang memungkinkan mereka merespons pergerakan orang melintasi perbatasan dengan kekuatan mematikan.
Sebuah sumber mengatakan kepada surat kabar tersebut bahwa Arab Saudi menggunakan pengawasan elektronik ekstensif yang memungkinkan untuk membedakan antara kelompok migran dan mereka yang terlibat dalam serangan bersenjata atau penyelundup narkoba.
Pelatihan pemerintah Saudi oleh militer AS adalah bagian dari program jangka panjang yang dikenal sebagai Ministry of Interior-Military Assistance Group (MOI-MAG), yang dimulai pada 2008. Seorang pejabat AS mengonfirmasi bahwa pelatihan tersebut telah dilakukan.
“Komando Bantuan Keamanan Angkatan Darat AS memberikan pelatihan penjaga perbatasan, yang telah didanai untuk periode 2015-2023, dengan periode pendanaan berakhir pada Juli tahun ini,” kata sumber tersebut kepada surat kabar tersebut.
Pelatihan Jerman terhadap pasukan Saudi dimulai pada 2009, dan hanya terhenti sebentar setelah pembunuhan jurnalis Washington Post dan kontributor MEE Jamal Khashoggi pada 2018 di konsulat Saudi di Istanbul.
Kemitraan pelatihan antara pasukan Saudi, AS, dan Jerman disepakati sebagai bagian dari upaya kerajaan untuk meningkatkan keamanannya.
Rute menuju Arab Saudi telah digunakan oleh para pengungsi dan migran Ethiopia dan Yaman selama bertahun-tahun. Banyak dari mereka yang melarikan diri dari kesulitan ekonomi dan perang, dengan Arab Saudi menjadi tujuan akhir favorit serta titik transit menuju negara-negara Teluk lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, perjalanan menjadi semakin berbahaya, dengan sekitar 430 kematian dan lebih dari 650 cedera tercatat dalam periode 1 Januari hingga 30 April 2022 saja.
Bukti yang didokumentasikan oleh kelompok hak asasi manusia mencakup kasus orang yang ditembak dari jarak dekat dan perempuan yang menghadapi pelecehan seksual.
Awal bulan ini, para penyintas asal Etiopia menceritakan kepada Middle East Eye bagaimana mereka ditembak dengan senapan mesin berat.
Salah satu dari mereka menggambarkan bahwa mereka menjadi sasaran langsung penjaga perbatasan yang akan “mengarahkan dan menembaki batu-batu besar, yang akan membuat pecahan peluru dan batu beterbangan ke berbagai arah dan memaksimalkan korban di antara para pengungsi”.
Para aktivis mempertanyakan mengapa pasukan Saudi tidak dapat membedakan antara warga sipil dan mereka yang bersenjata.
Teknologi pengawasan yang dimiliki kerajaan ini mencakup CCTV, sensor monitor darat, dan pencitraan termal, yang membantu mendeteksi pergerakan dan lokasi orang.
Menurut laporan yang terperinci dan memberatkan oleh Human Rights Watch (HRW) bulan ini, para penyintas mengatakan mereka melihat kamera yang melacak pergerakan mereka dipasang pada apa yang tampak seperti “lampu jalan” di sisi perbatasan Saudi.
Pada Oktober, beberapa pelapor khusus PBB menyoroti pembunuhan tersebut dalam sebuah surat, dan menggambarkannya sebagai “pelanggaran hak asasi manusia yang berat terhadap migran”.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa serangan itu dilakukan oleh pasukan Saudi dan Houtsi. Pihak berwenang Saudi telah membantah bertanggung jawab, dengan mengatakan bahwa mereka tidak menemukan bukti apa pun yang menunjukkan pelanggaran.
HRW telah meminta Arab Saudi untuk “segera mencabut kebijakan apa pun, baik eksplisit maupun de facto, yang dengan sengaja menggunakan kekuatan mematikan terhadap migran dan pencari suaka, termasuk menargetkan mereka dengan senjata peledak dan serangan jarak dekat”.
Kelompok hak asasi manusia juga meminta Riyadh untuk menyelidiki dan mendisiplinkan mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran. (zarahamala/arrahmah.id)