JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Tim Sympathy of Solidarity (SOS) Rohingya lembaga yang diinisiasi Aksi Cepat Tanggap (ACT) Andhika Purbo Swasono telah menjejakkan kaki di salah satu kantong pengungsi Rohingya terbesar di Bangladesh.
Memang, tujuan utama ACT adalah Teknaf, kota di perbatasan Bangladesh-Myanmar. Dari 300 ribu pengungsi muslim Rohingya, sebagian terkonsentrasi di sana. Kondisi mereka serba terjepit, masuk ke wilayah Bangladesh lebih jauh ditolak, kembali ke kampung halaman di Myanmar, diancam tangkap atau bunuh aparat militer Myanmar.
Saya telah melakukan perjalanan menuju Teknaf sejak Kamis (2/8/2012). Setelah mengarungi perjalanan selama 10 jam dari Dhaka, saya tiba di Cox’s Bazaar pada pukul 8 pagi waktu setempat.
Saya ditemani oleh seorang relawan lokal bernama Arif Rahman Saky, biasa dipanggil Saky. Di Cox’s Bazaar kami beristirahat di hotel melati, Coral Reef Hotel.
Istirahat sebentar, kami mencari mobil sewaan untuk dikendarai bersama relawan lokal lainnya Mostak Ahamad Khondakar (Mostak), menuju Teknaf. Perjalanan ke Teknaf diperkirakan menempuh jarak 75 km, dengan perkiraan waktu dua jam.
Baru setengah perjalanan, kami melintasi suatu wilayah di mana terdapat kamp pengungsi Rohingya. Menurut informasi dari Saiful Islam, pengemudi kami, di kamp itulah pengungsi Rohingya tinggal. Kami berhenti untuk menyapa para pengungsi di kamp itu. Kamp itu bertempat di Kutupalong, subdistrik Upazila Ukhia, Distrik Cox’s Bazaar, Chittagong Division, Bangladesh.
Kami menemui dan mencoba membuka komunikasi dengan beberapa pengungsi. Salah satunya, Nur Muhammad, seorang ayah berusia 42 tahun dengan delapan anak. Nur menceritakan kisahnya bagaimana dia terpaksa harus melarikan diri demi menyelamatkan nyawanya, dari kejaran orang-orang yang disebut Nur Muhammad sebagai ‘mafia’.
Kendati dirinya kini selamat dan tinggal di kamp pengungsian di Bangladesh selama 20 tahun, Nur menyatakan bantuan yang ia terima sangat minim, sama seperti ribuan pengungsi lainnya. Nur, tak mampu menyembunyikan deritanya melalui gurat-gurat kulit wajahnya yang lebih menua dibanding usianya.
1/1
Tak hanya Nur yang mengalami kenestapaan hidup sebagai pengungsi, begitu pula pemuda berusia 18 tahun, Muhammad Kasham.
Kasham lahir langsung statusnya sebagai pengungsi. Selama bertumbuh sebagai anak, Kasham tak mendapatkan haknya selaku anak, yakni pendidikan. UNHCR (lembaga PBB yang mengurusi pengungsi) hanya memberikan pendidikan kepada anak-anak yang ditetapkan status pengungsi secara resmi oleh UNHCR. Jangan bertanya kepada UNCHR mengapa untuk mendapat sedikit bantuan, harus bersyarat segala.
Kasham menunjukkan rumah-rumah yang ada di kamp. Semua tempat tinggal para pengungsi, jauh dari kata ‘layak.’ Hanya secuil makanan, tanpa medis, sandang seadanya, dan MCK yang memadai. Dengan atap dari plastik, dinding bambu, ukuran 2X 3 meter, hampir rubuh pula. Jangan tanya bagaimana kondisi lantainya.
Pemilik rumah, Bapak Abul Alam, 55 tahun mengidap sakit menahun. Ia mengaku tidur di rumah itu bersama anak-anaknya yang berjumlah 5 orang. Ia sempat dirawat oleh klinik yang diselenggarakan NGO MSF (Médecins Sans Frontières) namun hanya untuk perawatan primer.
Seorang ibu menceritakan kondisi kampungnya di Myanmar. Anak muda ditangkapi serdadu Myanmar. Tak jelas bagaimana nasib mereka sekarang. Dengan rasa takut luar biasa ia melarikan diri ke Bangladesh dan berstatus pengungsi di Kutupalong. (bilal/ACT/arrahmah.com)