BIMA (Arrahmah.com) – Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lapesdam) Nahdhatul Ulama (NU) Kabupaten Bima, mengapresiasai kerja Tim Pencari Fakta dan Rehabilitasi (TPFR) Bima. Diharapkan hasil kerja dan temuan TPFR terus dipublikasikan agar publik mengetahui apa yang sesuangguhnya terjadi. Apresiasai itu disampaikan Direktur Lapesdam NU Kabupaten Bima, Asrul Raman, M.Pd, beberapa waktu lalu, Rabu (16/1).
Dikatakannya, tidak semestinya tindakan antiteror yang dilakukan oleh institusi Kepolisian juga mengambil jalan kekerasan, membunuh yang yang berlum pasti keterlibatannya. Asas praduga tidak bersalah harus dikedepankan dan terduga harus menjalani proses hukum.
“Saya tidak setuju kalau pola pemberantasan terorisme dengan jalan pembunuhan,” ungkapnya seperti dilansir Bimakini, beberapa waktu lalu, Rabu (16/1/2013).
Jika pola pembunuhan ini yang dijadikan jalan dalam pemberantasan terorisme, kata Asrul, maka tidak ubahnya mengulangi tindakan pemerintahan Orde Baru. Dimana mereka yang dianggap preman dan meresahkan masyarakat dimusnahkan.
“Sehingga muncul istilah saat itu Petrus, penembak misterius. Preman yang dianggap meresahkan ditembak mati,” katanya.
Akibatnya, kata dia, mereka yang memiliki tato, meski bukan preman resah dan kuatir. Kini muncul lagi kecurigaan terhadap mereka yang memelihara jenggot dan rajin beribadah ke masjid sebagai kelompok yang meresahkan dan dianggap radikal. “Pola-pola seperti ini yang di-setting dari Barat,” katanya.
Asrul mengatakan Bima bukanlah ladang atau lumbung tumbuh berseminya teroris. Masyarakat Bima sesungguhnya patuh dan taah pada ketetapan Allah. Secara kultur, masyarakat Bima juga memiliki rasa persaudaraan tinggi, sehingga mengeliminasi tumbuhnya terorisme. “Mereka tidak layak ditembak mati, tanpa menjalani proses hukum,” tegasnya.
Akademisi dan pengamat terorisme, Syarif Ahmad, M.Si, mengatakan muncul dugaan istilah industrialisasi terorisme. Suatu paham yang diimpor atau diekspor dari Barat. “Terorisme itu bukan gerakan lokal atau regional, namun global. Suatu gerakan yang dilakukan oleh kelompok tertentu dengan tujuan politik dengan mengganggu stabilitas atau memengaruhi kebijakan pemerintah,” ujarnya saat dialog di BimaTV dengan tema Bima dan Cap Terorisme, Selasa sore.
Indikasi terirosme sebagai industrialisasi, kata Syarif, dapat dilihat pula pada kasus isu komunisme di Indonesia. Ketika itu untuk pemberantasan komunisme, Indonesia mendapat dukungan dana dari luar. “Saya pun punya data dari hasil penelitian, bahwa pemberantasan terorisme di Indonesia ini didanai oleh Barat,” ungkapnya.
Seperti dilansir Bimakini.com sebelumnya, TPFR Bima sudah mengumumklan hasil investigasi tahap pertama, tentang klaim Kepolisian Bahtiar salah satu yang ditembak mati Densus 88 namun hasil investigasi TPFR, membuktikan bahtiar tidak pernah ke Poso.
Kini TPFR juga memfasilitasi pemulangan jenasah dan pengurusan izin pemakaman, karena sempat muncul penolakan dari sejumlah masyarakat Desa Timu Kecamatan Bolo Kabupaten Bima. (bilal/arrahmah.com)