KEDIRI (Arrahmah.com) – Beberapa waktu lalu, masyarakat dikejutkan dengan polemik imunisasi vaksin Measles Rubella (MR). Betapa tidak, setelah diverifikasi secara intensif menurut data dan narasumber terpercaya, bahwa vaksin Measles Rubella (MR) memang mengandung unsur babi.
Kebimbangan masyarakat mulai terlihat. Terbukti di beberapa sekolah dan instansi di daerah yang menginginkan penundaan pelaksanaan imunisasi vaksin Measles Rubella (MR) hingga dikeluarkannya keputusan fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) atas persoalan tersebut.
Perdebatan dan kebingungan masyarakat akhirnya memaksa Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara.
Secara tegas, akhirnya MUI mengeluarkan keputusan fatwa nomor 33 tahun 2018 tentang vaksin Measles Rubella (MR). Dalam Fatwa tersebut, MUI mengakui bahwa vaksin Measles Rubella haram dikarenakan diproduksi dari bahan yang najis.
Akan tetapi dalam kelanjutan keputusannya, pihak MUI melegalkan penggunaan vaksin tersebut dengan dua ketentuan, yaitu ada kondisi keterpaksaan (Dharurat Syar’iyyah) dan belum ditemukannya vaksin Measles Rubella (MR) yang suci dan halal. Bahkan MUI menegaskan bahwa kebolehan tersebut tidak berlaku lagi dan akan menjadi haram ketika sudah ditemukan vaksin Measles Rubella (MR) yang suci dan halal.
Demi meninjau kembali sumber rujukan keputusan tersebut, akhirnya agenda bulanan (20/08) Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo (LBM-P2L) membahas hukum vaksin Measles Rubella (MR).
Agar persoalan dapat dikaji secata komprehensif, pihak LBM mendatangkan narasumber seorang dokter dari Rumah Sakit Umum Lirboyo.
Setelah mengenal secara mendetail vaksin Measles Rubella (MR), seluruh peserta musyawarah membahasnya dari sudut pandang syariat dengan menggunakan referensi kitab salaf dan metode penggalian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Akhirnya, perdebatan yang berdarah-darah menemukan titik kesepakatan yang berupa keputusan dan rekomendasi. LBM Lirboyo secara tegas memutuskan hukum imunisasi menggunakan Vaksin MR diharamkan karena beberapa faktor:
Pertama, najis. Vaksin MR terdapat bahan dari zat babi atau pernah bersinggungan dengan babi dan belum melewati proses penyucian yang mu’tabar.
Kedua, tidak ada darurat maupun hajat. Dalam imunisasi penyakit belum ada pada anak yang diimunisasi, maka tidak ada unsur darurat maupun hajat yang memperbolehkan berobat dengan benda najis.
Ketiga, tidak ada saksi dari ahli medis yang bisa dibuat acuan hukum. Pembuat dan penemu Vaksin MR dari kalangan non Islam, sehingga keterangannya tidak bisa dipercaya untuk dijadikan pijakan hukum. Adapun keterangan dari ahli medis muslim semuanya mengacu pada penelitian ahli medis non Islam bukan dari penelitiannya sendiri.
Rekomendasi dan Imbauan Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo:
Pertama, memandang dibutuhkannya ahli medis yang kompeten dan dipercaya, maka wajib untuk mencetak ahli medis dari kalangan kita sehingga mampu untuk memproduksi vaksin sendiri sesuai dengan standart syariat dengan mengedepankan bahan dari perkara yang suci
Kedua, dalam pandangan Islam, babi adalah binatang yang paling berat hukum kenajisannya bahkan para Ulama Suffi sepakat bahwa babi memiliki pengaruh besar membutakan hati, tertutupnya hati, sehingga sulit menerima nasihat, menjalankan kebajikan. Maka sepatutnya kita sebagai umat islam wajib menjaga generasi-generasi ummat islam ke depan dengan tidak gegabah memperbolehkan atau membiarkan mengkonsumsi produk-produk yang mengandung barang najis. Terlebih saat ini ummat islam sedang menghadapi konspirasi besar yang ingin menghancurkan islam dari dalam dengan merusak kejiwaan, akal, moral. Maka selayaknya kita semua harus waspada.
Sumber: Lirboyo.net
(ameera/arrahmah.com)