Oleh Nazwa Hasna Humaira
Aktivis Dakwah
Kawasan Bandung yang terkenal dengan berbagai objek wisata dengan nuansa alamnya menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Sebut saja di antaranya Lembang, Ciwidey, dan Pangalengan. Akan tetapi banyak tempat-tempat wisata yang sekarang aktif belum memiliki izin resmi dalam menggunakan lahannya. Tercatat dalam database sebanyak 900 objek wisata ilegal.
Objek wisata tersebut berdiri di atas lahan milik PTPN dan perhutani yang dikelola oleh pihak ketiga yakni menyewa atau bekerjasama dalam batas waktu tertentu. Hal ini bisa terjadi disebabkan panjangnya pengurusan alih fungsi lahan. (ayobandung.com, 24/3/2025)
Objek wisata menjadi destinasi pilihan bagi para wisatawan yang ingin berkunjung bersama keluarga untuk menikmati quality time. Tak jarang dari luar kota pun menyengaja pergi ke tempat wisata yang ada di Kabupaten Bandung ini. Dengan banyaknya yang berkunjung, maka semakin meningkat pula jumlah omset para pengusaha tersebut.
Namun demikian, keberadaan tempat wisata tak selamanya membawa keuntungan bagi masyarakat, baik karena masalah perizinan yang dihadapi pengelola sebagaimana fakta di atas dan atau kerusakan alam akibat alih fungsi lahan secara serampangan dan berakibat pada bencana alam. Hal ini seperti nya masih belum mendapat perhatian penuh dari penguasa selain lebih mengedepankan keuntungan materi dengan dalih meningkatkan perekonomian daerah atau pusat.
Di antara upaya yang harus dilakukan oleh negara adalah dengan melakukan pengawasan dan regulasi, sosialisasi terhadap masyarakat mengenai pentingnya mengelola kawasan hutan, rehabilitasi hutan, dan reboisasi lahan yang rusak. Hal ini diperlukan untuk terhindar dari bencana alam yang besar dan membahayakan lingkungan sekitar. Akan tetapi, dalam sistem kapitalisme tidak mampu direalisasikan. Sebab, para penguasa dan segelintir orang yang termasuk ke dalamnya hanya memikirkan materi semata saja yang dapat bermanfaat bagi diri dan korporasi.
Berbeda halnya ketika sistem Islam yang menjadi aturan kehidupan, semua akan berjalan dengan adil dan sesuai seperti yang tertera pada Al-Qur’an dan Sunnah. Bahwa kepemilikan yang berlandaskan syariat Islam terbagi menjadi tiga macam: Pertama, kepemilikan individu (harta, rumah, dan lain-lain), Kedua, kepemilikan umum (jalan umum, masjid, dan fasilitas umum lainnya), Ketiga, kepemilikan negara (Perusahaan milik negara, sarana dan prasarana pemerintah, tanah hasil rampasan perang, dan lainnya).
Seperti lahan Perhutani merupakan salah satu kepemilikan negara yang perlu dikelola oleh seorang pemimpin yang hasilnya akan digunakan sesuai syariah. Sehingga, dengan tata kelola negara yang sudah sesuai Al-Qur’an maupun Sunnah, tidak akan terjadi kembali penyalahgunaan kekuasaan. Kemudian tidak akan terjadi lagi kerusakan alam akibat tangan-tangan manusia seperti firman Allah :
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum 30: Ayat 41)
Dalam naungan pemerintah lslam, kaum muslimin akan memfokuskan diri pada aktivitas berfaedah yang mendatangkan pahala atau rida Allah. Maka keberadaan tempat wisata tidak akan berfungsi sebagaimana hari ini yakni sumber pemasukan ekonomi. Jika pun ada tempat wisata, pemimpin negara Islam akan membangunnya di lahan strategis dan tidak menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan.
Yang pasti, keberadaan lahan wisata ini bukan sebagai pemasukan negara melainkan semata-mata untuk fasilitas publik untuk tadabbur dan wasilah dakwah. Sehingga wisatawan yang melihat keindahan alam ini diharapkan memahami keagungan penciptanya, bukan sebaliknya, hura-hura, pesta pora hingga melalaikan kewajibannya sebagai hamba.
Wallahu a’lam Bis shawwab