JAKARTA (Arrahmah.com) – Lagi-lagi proyek deradikalisasi mengalir ke kantong-kantong LSM komparador yang selama ini menjadi paket silabus BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) untuk memojokkan umat Islam. Ya, inilah untuk kedua kalinya, CSRC (Center for Study of Religion and Culture) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah – Ciputat melaporkan “proyek” tendensiusnya soal Masjid. Dalam penelitian sebelumnya, CSRC juga menstigmakan takmir masjid sebagai agen penebar radikalisme.
Di mata peneliti yang dibiayai oleh USAID Indonesia (AS) ini, fungsi masjid dinilai ambivalen dan terjadi distorsi. Di satu sisi masjid raya dan agung berhasil sebagai masjid pemersatu atau perekat umat Islam, namun di sisi lain, belum berhasil menjadi perekat antar warga yang berbeda agama dan keyakinan.
Sejauh ini masjid raya dan agung telah memfasilitasi konsolidasi internal umat Islam untuk membela umat, terutama di masa konflik. Masjid raya maupun agung telah berperan dalam mendukung perdamaian dengan kapasitasnya masing-masing, baik pada masa konflik maupun pasca konflik.”
Demikian kesimpulan umum yang diuraikan CSRC dalam Seminar Hasil Penelitian “Masjid & Pembangunan Perdamaian: Studi Kasus Poso, Ambon Ternate dan Jayapura” di Hotel Ambhara, Blok M, Jakarta (26/1/2011). Seminar tersebut menghadirkan dua peneliti CSRC Sukron Kamil dan Ridwan Al-Makassary, dan dua pembahas, yakni: Ichsan Malik (ITPP) dan Chaider S Bamualim (National University of Singapore).
Ada tiga ruang lingkup yang diteliti CSRC, yakni: Masjid di masa konflik, Masjid dan radikalisme Islam, Masjid dan pembangunan perdamaian. Untuk menjabarkan hasil penelitiannya, CSRC menggunakan metode penelitian kualitatif, metode wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), Observasi, dan Studi Perpustakaan .
Setidaknya ada delapan peneliti CSRC yang dilibatkan, diantaranya: Amelia Fauzia, Irfan Abubakar, Mohamad Nabil, Noorhaidi Hasan, Nur Imroatus S, Ridwan al Makkasary, Rita Pranawati, dan Sukron Kamil. Penelitian yang cuma tiga minggu ini dilaporkan dalam bentuk buku setebal 366 halaman. Durasi waktu penelitian yang singkat ini berdampak pada hasil penelitian yang tidak valid, subjektif, tergesa-gesa, dan kacangan. Demi memburu dollar, peneliti “mahzab Ciputat” ini toh hanya ingin menyenangkan majikannya (USAID sebagai steak holder-nya).
Dalam uraiannya Ridwan al Makassary menyatakan, gejala penguatan radikalisme Islam (salafisme) dirasakan di kawasan Indonesia Timur, terutama di empat titik yang menjadi penelitian CSRC, yakni Poso, Ambon, Ternate dan Jayapura. Masjid tersebut berpeluang menjadi tempat “incubator of jihadism”, yang akan mengancam proses pembangunan perdamaian (peacebuilding process). Perluasan riset “pesanan” itu juga memetakan ideology masjid di Jakarta dan Solo.
Alasan memilih masjid raya sebagai objek penelitian CSRC, dikatakan Ridwan Al Makassary, karena sifatnya yang menyeluruh dan memayungi semua golongan atau aliran dalam Islam di wilayah tersebut. “Karakter dasarnya moderat dan kerap digunakan kelompok Islam radikal untuk menyebarkan pengaruhnya,” ujarnya.
Masjid yang diteliti tersebut meliputi: Masjid Agung Baiturrahman di Poso, Masjid Raya Al Fatah- Ambon, Masjid Agung Al-Muttaqien-Ternate, dan Masjid Baiturrahim-Jayapura.
Peneliti CSRC UIN Ciputat ini mengakui, bahwa tidak ada definisi tunggal yang disepakati di dunia akademik mengenai definisi radikalisme. Menurutnya, radikalisme merupakan faham, wacana, dan aktivisme yang berupaya melakukan perubahan yang radikal terhadap sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berlaku.
Radikalisme, lanjut Ridwan Al Makassary, memiliki dua dimensi terpenting, yaitu: Pertama, kekerasan dalam pengertian menerima kekerasan sebagai cara yang sah untuk mengubah sistem tersebut. Kedua, usaha aktif melakukan perubahan di dalam masyarakat secara radikal, yang tidak selalu menggunakan kekerasan.
“Radikalisasi itu merupakan proses bertahap di mana seseorang semakin menerima perlunya penggunaan kekerasan, termasuk terorisme, dalam upaya mencapai tujuan politik atau ideologis tertentu. Seseorang disebut radikal, ketika ia terlibat secara aktif dan mendorong orang lain atau setidaknya mendukung terjadinya perubahan yang radikal dalam masyarakat, yang akan mengancam tatanan hukum demokratis,” papar Ridwan nyinyir.
Namun demikian, radikalisme, kata Ridwan, tidak secara otomatis berhubungan dengan terorisme. Tetapi radikalisme merupakan prakondisi terjadinya terorisme. “Terorisme merupakan perbuatan yang dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat atau memaksa pemerintah melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau merusak struktur politik, ekonomi, dan sosial yang ada.”
Adapun deradikalisasi, dalam pandangan CRSC, adalah proses mengabaikan pandangan dunia yang ekstrim dan berkesimpulan bahwa penggunaan kekerasan untuk mempengaruhi perubahan sosial tidak dapat diterima.
Masjid Dituduh Sarang Radikalisme
Tak berbeda dengan rekan researcher-nya, Sukron Kamil, peneliti CSRC yang kebagian tuga menyoroti “”Masjid, Perdamaian, dan Radikalisme Islam di Wilayah Konflik”, dengan gamblang menstigmatisasikan masjid sebagai sarang radikalisme. Menurutnya, masjid berfungsi dalam pembentukan sentimen dan solidaritas kemusliman, kurang memiliki komunikasi dan kerjasama dengan gereja.
“Sejauh ini, masjid menjadi tempat pelepasan, kembalinya pasukan jihad dan basis pertahanan tempat diserukannya jihad, sehingga suhu konflik tetap memanas, meski etika jihad juga disampaikan. Pengaruh dari seruan jihad itu berefek pada tuntutan social, semangat ukhuwah Islamiyah, dan ajaran qishash atau jihad (perang),” papar Sukron dengan sikap paranoidnya yang menggebu-gebu.
Syukron Kamil memaparkan dua peran dan fungsi masjid: Peran damai masjid saat konflik dan peran masjid sebagai penetrasi radikalisme Islam. Adapun peran damai masjid saat konflik, acapkali dijadikan tempat pengungsian, menghimpun dan menyalurkan bantuan kemanusiaan. Di Ambon, masjid menjadi rumah bersalin dan rumah sakit darurat. Masjid Al Muttaqien Ternate menyuarakan masyarakat untuk bersabar, melarang merusdak atau mencuri milik non-Muslim dan mengamankan hartanya. Masjid pula yang memerintahkan laskar Mujahidin untuk menarik diri saat perdamaian disepakati. Di Malifut, masjid bahkan menjadi tempat rekonsiliasi.
Sedangkan masjid yang di dalamnya terdapat penetrasi radikalisme Islam, indikasinya, kata peneliti CSRC ini, umat menyambut dan mendukung Laskar Jihad di Ambon. Di Poso Jemaah Islamiyah dianggap sebagai pihak yang membangkitkan semangat jihad. Di Ambon pula, Laskar Mujahidin pendatang memberikan latihan tempur, menaburkan ajaran Salafi, termasik menggunakan media online untuk mensosialisasikan dakwah salafinya. Sedang di Poso, JI merekrut anggota baru.
Masjid pun dituding mengembangkan gerakan radikal Islam. Di Masjid al Fatah-Ambon misalnya, dalam batas tertentu terdapat pembiaran radikalisme. CSRC menyebut para ustadz di Yayasan Abu Bakr ash Shiddiq (YABS) dan Keputrian HTI sebagai benih radikalisme Islam. “Meski usaha YABS dalam pengajuan sebagai khatib gagal. YABS juga mendapatkan tanah wakaf, begitu juga HTI mendapat pengakuan dari pemerintah. “
Di Masjid Al Fatah – Ambon, TPA oleh CSRC dituduh menjadi penyemaian sikap budaya Islam yang ultra-konservatif, di mana anak-anak TPA menjadikan cadar sebagai busana muslim ideal. Di Poso, CSRC menyebut Wahdah Islamiyah (ormas Islam) sebagai pegiat masjid yang menanam benih radikalisme Islam.
Pasca disepakati perjanjian damai, sebagaian Laskar Jihad berekspansi ke Sorong untuk membangun militansi Islam melawan dominasi Kristen. Kaum radikal di Ambon dan Poso memandang demokrasi tidak sesuai dengan Islam dan peserta keputrian HTI di Ambon memandang sumber kerusakan adalah tidak ditegakkannya khilafah.
Masjid Al Fatah, Masjid Baiturrahim – Jayapura dan banyak masjid di Ternate menjadi tempat kegiatan khuruj Jama’ah Tabligh (JT). Tak jarang khutbah di Masjid Baiturrahman Poso (2001-2008) berisi seruan jihad dan menganggap pemerintah sebagai thagut. Demikian penelitian CSRC.
Masjid & Damai Negatif?
CSRC menilai positif terhadap masjid dalam menjalani perannya membangun perdamaian. Itu bisa terlihat, dengan adanya pergeseran wacana khutbah dan pengajian dari konflik ke perdamaian. Misalnya member pemahaman soal ide rahmatan lil’alamin dan keragaman. Di Ambon, ada upaya dai yang berdiskusi dan berdebat langsung dengan aktivis Islam radikal secara personal. Lalu ada kerjasama medis antara dokter Muslim dan Kristen di Klinik Al Fatah yang memiliki BMT dengan asset lebih dari Rp. 80 juta.
CRSC juga memuji Masjid Baiturrahman Jayapura menjadikan tempat ibadah dan dakwah yang sejuk, termasuk dijadikan tempat bagi healing terhadap korban konflik yang mengalami trauma. Peneliti ini memuji manajemen dan juru dakwah masjid yang berpandangan moderat. Masjid Al Muttaqien – Ternate yang melakukan komunikasi dan kerjasama dengan non Muslim. Lucunya, CSRC menilai perdamaian di daerah konflik itu sebagai damai negatif. Kok ada damai negatif???
Dengan strategi adu dombanya, CSRC juga memuji Masjid al Muttaqien Ternate yang menolak kehadiran Jamaah Tabligh dan HTI yang selama ini menggunakan masjid sebagai tempat kegiatannya. Di akhir presentasinya, peneliti CSRC, Sukron Kamil, mengkritik masjid yang tidak mengusung pluralisme sebagai ciri damai positif.
Disesi tanya jawab, peserta yang hadir turut mengkritik penelitian tersebut yang cenderung tendensius dan subjektif. Chaeder S Bamualim selaku pembahas menilai penelitian ini hanya untuk menjelek-jelekkan Islam, apalagi penelitian tersebut dibiayai oleh Barat. (voa–Islam/arrahmah.com )