XINJIANG (Arrahmah.com) – Dokumen-dokumen yang bocor dari Partai Komunis Tiongkok mengungkap pencucian otak yang terjadi di dalam kamp-kamp pengasingan dengan tingkat keamanan tinggi dan dikontrol dengan ketat oleh negara yang diperuntukkan bagi Muslim di wilayah Xinjiang.
Dokumen yang disebut Cina Cables itu diperoleh oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), sebuah outlet pelaporan yang didanai oleh donatur yang berbasis di AS. Dokumen tersebut kemnudian dibagikan kepada 17 mitra media untuk dipublikasikan pada Ahad (2/11/2019).
Dokumen-dokumen tersebut membuka dengan jelas bagaimana kondisi sekitar satu juta anggota komunitas Muslim Uighur di Xinjiang yang selama ini ditahan tanpa pengadilan dan dipaksa untuk menjalani indoktrinasi.
Pemerintah Cina telah berulang kali mengatakan kamp-kamp itu merupakan kamp pendidikan dan pelatihan sukarela untuk membantu memberantas ekstremisme. Utusan Beijing untuk Inggris mengatakan kepada BBC, salah satu mitra media ICIJ, bahwa dokumen itu adalah palsu.
Di dalam dokumen-dokumen tersebut terdapat “daftar pedoman rahasia” yang disetujui oleh pejabat tinggi Tiongkok untuk menjalankan kamp dan “sistem pengumpulan dan analisis data secara massal menggunakan kecerdasan buatan” untuk membantu mengumpulkan tersangka yang merupakan warga Xinjiang, kata wartawan ICIJ Bethany Allen-Ebrahimian.
“Sistem ini mampu mengumpulkan sejumlah besar data pribadi melalui pencarian manual tanpa jaminan, kamera pengenal wajah, dan cara lain untuk mengidentifikasi calon penahanan, termasuk membayar beberapa ratus ribu untuk bekerja sama agar dapat menggali informasi menggunakan aplikasi ponsel populer tertentu,” tulis Allen- Ebrahimian, sebagaimana dilansir Daily Sabah.
“Dokumen itu merinci arahan eksplisit untuk menangkap warga Uighur dengan kewarganegaraan asing dan melacak warga Xinjiang Uighur yang tinggal di luar negeri, beberapa di antaranya bahkan telah dideportasi kembali ke Cina,” imbuhnya.
Awal bulan ini, sebuah kumpulan dokumen pemerintah Cina yang juga bocor ke harian New York Times mengungkapkan rincian tentang ketakutan Beijing terhadap ekstremisme agama dan tindakan keras kepada ratusan Muslim Uighur.
Para pakar PBB mengatakan bahwa sekitar 1 juta warga Uighur dan lainnya, yang sebagian besar Muslim, telah dikurung di Xinjiang dalam tindakan keras yang telah dikritik oleh AS, negara-negara Eropa, dan lainnya.
Secara keseluruhan, dokumen-dokumen tersebut memberikan deskripsi yang paling signifikan tentang penahanan massal teknologi tinggi pada abad ke-21 berdasarkan perintah pemerintah Cina sendiri. Para ahli mengatakan mereka menguraikan sistem luas yang menargetkan, mengawasi dan menilai seluruh etnis untuk secara paksa berasimilasi dan menundukkan mereka, terutama Uighur, minoritas Muslim Turki yang berpenduduk lebih dari 10 juta orang dengan bahasa dan budaya mereka sendiri.
“Mereka mengkonfirmasi bahwa ini adalah bentuk genosida budaya, dan dokumen ini benar-benar menunjukkan bahwa pemerintah Cina telah merencanakannya sejak awal,” kata Adrian Zenz, seorang pakar keamanan terkemuka di wilayah Xinjiang, tanah air Uighur.
Zenz mengatakan dokumen-dokumen itu menggemakan tujuan dari kamp-kamp tersebut sebagaimana diuraikan dalam laporan 2017 dari cabang lokal Departemen Kehakiman Xinjiang, yaitu untuk “mencuci otak, membersihkan hati, mendukung hak, menghilangkan yang salah.”
Dokumen-dokumen itu mengkonfirmasi dari pemerintah sendiri tentang kamp-kamp itu dari kesaksian puluhan warga Uighur dan Kazakh, citra satelit, dan secara ketat memonitor kunjungan para jurnalis ke wilayah tersebut.
Erzhan Qurban, salah seorang Muslim dari etnik Kazakh yang pindah kembali ke Kazakhstan, ditangkap oleh polisi dalam perjalanan kembali ke Cina untuk melihat ibunya dan dituduh melakukan kejahatan di luar negeri. Dia memprotes dengan mengatakan bahwa dia hanya berkunjung dan tidak melakukan kesalahan. Tetapi bagi pihak berwenang, waktunya di Kazakhstan cukup menjadi alasan untuk ditahan.
Qurban mengatakan kepada AP bahwa dia dikurung di sel bersama 10 tahanan lainnya tahun lalu dan diberitahu untuk tidak melakukan “kegiatan keagamaan” seperti shalat.
Mereka dipaksa duduk di kursi plastik dalam posisi kaku selama berjam-jam. Dilarang bicara, dan dua penjaga berjaga 24 jam sehari. Mereka juga memangkas janggut yang biasa dimiliki oleh seorang Muslim.
Mereka yang tidak patuh dipaksa untuk berjongkok atau menghabiskan 24 jam di sel isolasi di ruang yang dingin. “Itu bukan pendidikan, itu hanya hukuman,” kata Qurban, yang ditahan selama sembilan bulan.
“Aku diperlakukan seperti binatang,” imbuhnya dengan geram. (rafa/arrahmah.com)