Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
(Arrahmah.com) – Memasuki Tahun Ajaran 2020/2021 ini, Kemendikbud telah menyiapkan kurikulum darurat. Kurikulum darurat yang dimaksud adalah kurikulum dalam kondisi pandemi. Hal ini telah ditetapkan dalam KepMendikbud No. 719/P/Tahun 2020 (www.liputan6.com, 9 Agustus 2020).
Kurikulum darurat ini berisi penyederhanaan terhadap konten materi pembelajaran dan penilaiannya. Peruntukkan kurikulum darurat ini pada jenjang PAUD dan SD. Walaupun di dalam pelaksanaannya, Kemendikbud tetap menyerahkan kebijakan pemakaian kurikulum sesuai sekolah masing – masing. Bisa tetap mengacu pada K-13, kurikulum lokal sekolah dan atau kurikulum darurat yang telah disiapkan. Bahkan modul kurikulum darurat juga dibuat guna memudahkan orang tua dalam pendampingan belajar anak.
Adanya kurikulum darurat menurut Litbang Kompas merupakan tuntutan masyarakat. Sekitar 74 persen menginginkannya. Tentunya sebuah kewajaran tuntutan demikian. Di samping menumpuknya beban materi belajar yang banyak, orang tua merasa kesulitan dalam pendampingan belajar.
Kondisi pendidikan di tengah pandemi ini mengharuskan pembelajaran dilakukan secara online. Artinya, guna menunjang pembelajaran online ini segenap perangkat dan fasilitasnya mesti dilengkapi terlebih dahulu. Ketersediaan handphone pintar dan biaya kuota internet harus dipastikan tidak menjadi kendala. Ini penting. Bagaimana anak didik bisa mendapat pembelajaran sementara perangkat dan biaya tidak memadai?
Sementara itu kondisi perekonomian rakyat yang sulit di masa pandemi. Untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari – hari saja butuh pengorbanan, apalagi untuk sarana belajar online. Belum lagi membayar rekening listrik, air, biaya SPP sekolah, iuran BPJS dan lainnya. Bukankah kondisi kemiskinan itu bisa memicu kekufuran? Minimal kufur nikmat. Oleh karenanya terjadi perbuatan nekat melakukan pelanggaran guna mencukupi kebutuhan.
Miris rasanya membaca berita seorang bapak yang mencuri laptop untuk anaknya bisa belajar online (www.law-justice.com, 26 Juli 2020). Begitu pula seorang residivis yang mencuri laptop untuk anaknya belajar online (www.detik.com, 24 Juli 2020). Bahkan diberitakan pula ada seorang siswi SMP yang nekat jual diri untuk kuota internet (www.regional.kompas.com, 29 Juli 2020). Ini sebagian potret karut marutnya pendidikan kita. Kebijakan tanpa disertai kebijaksanaan hanya melahirkan ketimpangan demi ketimpangan.
Sedangkan dari aspek tercapainya tujuan pendidikan. Sangat miris di tengah koar – koar PPK (Penguatan Pendidikan Karakter), yang ada justru dekadensi moral. Berita 37 pasangan siswa SMP yang melakukan pesta seks, sangat mencoreng dunia pendidikan (10 Juli 2020). Yang lain lagi, bidan desa yang hamil 3 bulan lantaran ditiduri seorang pelajar SMA (www.suara.com, 14 April 2020). Begitu pula pemberitaan 240 siswa SMA yang minta dispensasi nikah karena hamil. Walaupun dibantah itu adalah lulusan SMA dan akumulasi data dari Januari – Juni 2020. Tetap saja ini merupakan pendidikan.
Justru laporan dekadensi moral banyak terjadi di masa pandemi Covid-19. Tentu saja dekadensi moral tidak sekedar gaul bebas dan perzinahan, termasuk pula tawuran dan lainnya. Timbul pertanyaan besar, apa yang salah dengan pendidikan di masa pandemi? Padahal anak didik belajar di rumah bersama orang tua. Artinya bila persoalan pendidikan hanya dibatasi dengan perampingan materi ajar dan asesmennya, tetap tidak bisa menyelamatkan generasi.
Persoalan kurikulum sejatinya adalah persoalan yang dinamis. Kurikulum itu bisa berubah mengikuti perkembangan jaman. Pendekatan, strategi, dan penilaian pembelajaran bisa disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Di tengah kondisi pandemi ini terkait penilaian bisa diserahkan ke masing – masing sekolah sesuai kondisi masing – masing. Di samping itu, dinamika materi ajar bisa diarahkan kepada life skill sebagai wujud penanaman karakter survive pada anak didik. Pendek kata, adanya kurikulum darurat yang menyederhanakan materi ajar dan asesmennya sebenarnya persoalan cabang. Alasannya Mendikbud sendiri telah memberi keluasaan kepada sekolah mengenai kurikulum yang dipakai. Catatannya tidak perlu mengejar ketuntasan materi ajar sesuai beban kurikulum nasional. Yang penting anak antusias belajar.
Walhasil, dunia pendidikan memerlukan paradigma baru. Paradigma sekuler yang tujuannya hanya nilai materi harus segera diganti. Sekolah untuk mencari nilai bagus, lulus dan bisa kerja. Nilai – nilai halal haram tercampakkan. Paradigma pendidikan harus dilandasi aqidah Islam. Dengan landasan aqidah ini bisa ditentukan strategi dan arah pendidikan.
Arah dan tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya generasi yang berkepribadian Islam. Dengan begitu strategi pendidikannya adalah materi aqidah dan tsaqafah Islam menjadi materi utamanya. Adapun penguasaan ilmu kehidupan diserahkan kepada minat siswa.
Dari aspek asesmen ini diarahkan kepada kesesuaian antara tsaqafah yang dikuasai dengan aspek kejiwaannya. Jadi pembelajaran Tsaqafah Islam betul – betul bersifat membina generasi yang bertaqwa, bukan bersifat ta’lim yang sebatas memberi informasi dan pengetahuan. Sedangkan untuk ilmu kehidupan adanya aspek kognitif dan skill dipadukan. Hal demikian akan menjadikan munculnya sikap jiwa survive dalam kehidupan.
Di samping itu, kebijakan negara mendukung terwujudnya generasi bertaqwa. Fasilitas dan perangkat pendidikan dilengkapi, tayangan – tayangan TV; iklan; bioskop serta poster termasuk baliho yang memicu dekadensi moral dihilangkan, dan buku ajar yang berbasis aqidah Islam diterbitkan. Dengan demikian anak didik sejak awal di bangku sekolah sudah dinuansakan dengan kehidupan yang Islami.
Begitu pula, kebijakan ekonomi negara mendukung semua lapisan masyarakat mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkualitas. Bukankah pendidikan menjadi tanggung jawab umum negara, termasuk jaminan keamanan dan kesehatan. Sehingga nanti para ibu bisa fokus ikut mengontrol intensif perkembangan iman dan taqwa putra – putrinya.
Yang terakhir, jika masalah terkait dengan landasan, arah dan strategi pendidikan sudah benar berasaskan Islam, tinggal masalah teknis dan dinamika kurikulum. Selanjutnya bisa dibicarakan tentang pembelajaran yang menyenangkan, muatan mata pelajaran tiap jenjang, dan yang lainnya.
Dan dalam lintasan sejarah kemanusiaan, dengan Islamlah muncul para pengukir dan pengharum sejarah. Sosok – sosok cemerlang nan tangguh seperti Muhammad Al Fatih, Shalahuddin Al Ayyubi, Thariq bin Ziyad, Asy Syafi’iy dan ribuan tokoh lainnya. Semuanya berada dalam lingkup kebijakan pendidikan Islam yang diadopsi dan dijalankan oleh negara.
(*/arrahmah.com)