AUSTRALIA (Arrahmah.com) – Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) menilai, kunjungan kerja komisi VIII DPR RI yang dipimpin oleh Abdul Kadir Karding ke Australia tidak bermanfaat atau sia-sia. Selain memboroskan anggaran negara, banyak hal tidak efektif terkait kunjungan yang dilakukan sejak Rabu 26 April sampai dengan Senin 2 Mei 2011 tersebut.
Sikap PPIA tersebut dijelaskan dalam lima analisa dan rekomendasi khusus hasil perjalanan 16 anggota komisi VIII ke Australia dalam rangka menggodok RUU tentang Fakir Miskin, melalui situs resmi mereka www.ppi-australia.org pada Selasa (3/5/2011).
Pertama, RUU penanggulangan fakir miskin (PFM) tidak diperlukan karena telah ada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tahun 2004 dan UU Kesejahteraan Nasional (2009).
“DPR harusnya memastikan implementasi UU SJSN dan UU Kesejahteraan Sosial sebelum membuat sebuah draf baru yang berusaha mengelola isu kebijakan sosial untuk fakir miskin,” tulis PPIA.
Kedua, pemilihan Australia sebagai tempat studi banding adalah tidak relevan. Seharusnya, untuk belajar penanggulangan kemiskinan, anggota DPR lebih baik belajar di negara-negara yang memiliki kedekatan sejarah, sosial dan budaya dengan Indonesia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China dan India.
“Dalam hal ini, kami menyayangkan kepergian Tim Panja ke Australia,” dalam rilis yang ditandatangani Ketua Umum PPIA, Mochamad Subhan Zein.
Ketiga, jumlah rombongan yang banyak dinilai mubazir, sehingga melakukan pemborosan anggaran. Secara matematis, anggaran Rp. 811 juta yang dialokasikan kepada 16 anggota Komisi VIII DPR RI dalam waktu 6 hari merupakan sebuah jumlah yang patut dipertanyakan. PPIA menyarankan penyesuaikan jumlah delegasi yang diberangkatkan dalam kunjungan kerja sesuai dengan kebutuhan. Cara ini mendukung efisiensi kunjungan kerja karena mereka yang diberangkatkan adalah mereka yang betul-betul memahami persoalan RUU yang diajukan.
Keempat, perolehan informasi yang seharusnya bisa di dapat di Indonesia. Tim PPIA menyarankan sebaiknya kalau hanya dialog seperti itu, ada baiknya pemateri saja yang diundang ke Indonesia, hal tersebut lebih menghembat biaya pengeluaran uang Negara. Selain itu dialog seperti itu saja bisa dilakukan via internet, dengan teleconference, sehingga lebih hemat biaya.
Kelima, kendala bahasa. Banyak anggota DPR yang tidak pandai berbahasa Inggris.
Karena itu PPIA menyarankan adanya pembatasan izin kunjungan kerja anggota DPR bagi mereka yang tidak memiliki kecakapan berbahasa asing yang mencukupi untuk menerima dan menyampaikan informasi secara dua arah dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan oleh:
a. Ijasah pendidikan tinggi di negara yang yang menjadi tujuan kunjungan kerja, atau di negera yang berbahasa yang sama dengan negara yang dituju, dan atau;
b. Kepemilikan sertifikasi kecakapan berbahasa, misalnya IELTS (International English Language Testing System) atau TOEFL (Test of English as a Foreign Language), HSK (Hanyu Shuiping Kaoshi), TFI (Test de Francais International), DELE (Diplomas de Espanol como Lengua Extranjera), dan ALPT (Arabic Language Proficiency Test).
“Metode ceramah yang dilakukan seharusnya bisa dilakukan di Indonesia. Dan materi-materi yang dipaparkan pun bisa didapatkan melalui situs di internet,” kata PPIA.
Atas hal tersebut, PPIA menyampaikan beberapa rekomendasinya untuk kebaikan bangsa Indonesia ke depan. Di antaranya adalah rombongan yang berangkat haruslah memiliki kualifikasi yang baik dalam hal bahasa. Anggota yang tidak mempunyai kualitas, harus dilarang ikut bepergian ke luar negeri. Kemudian, DPR RI seharusnya mengoptimalkan sumber informasi dari internet di mana mereka telah memiliki situs tersendiri.
Sementara itu, untuk mengkonfirmasi rilis PPIA, Abdul Kadir Karding, Ketua Komisi VIII yang memimpin rombongan belum bisa dihubungi melalui teleponnya. (rasularasy/arrahmah.com)