Oleh: Abu Fatiah Al-Adnani
*Pakar Kajian Akhir Zaman
(Arrahmah.com) – Nabi Saw menggambarkan bahwa fitnah akhir zaman bagaikan potongan malam yang gelap. Dari Abu Hurairah rodhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa’ala alihi wasallam pernah bersabda, “Bersegeralah kalian dalam mengerjakan amal-amal sholih sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti penggalan-penggalan malam yang gelap. Sampai-sampai seseorang yang berada pada pagi hari dalam keadaan beriman menjadi kafir pada sore harinya, dan pada sore hari dia seorang Mukmin namun pada pagi harinya menjadi kafir. Orang itu telah menjual agamanya demi memperoleh kekayaan dunia.” (HR. Muslim no.118)
Kondisi gelap adalah gambaran tentang sulitnya mengambil pilihan, sebab semua terlihat hitam dan pekat. Kawan dan lawan tidak terlihat, halal dan haram menjadi samar, apa yang disangka manfaat boleh jadi justru mendatangkan madharat.
Karenanya, ada sejumlah amalan yang menjadi kunci keselamatan hidup seorang muslim di zaman fitnah. Inilah beberapa poin yang mudah-mudahan dapat memberikan jalan keluar bagi setiap muslim dalam menghadapi berbagai bentuk fitnah di akhir zaman:
1. Meneguhkan keimanan kepada hari akhir dan iman kepada takdir.
Dengan bersabar, bersyukur, tidak berkeluh kesah saat merasakan beratnya ujian hidup duniawi. Kesulitan hidup apapun yang dirasakan oleh seorang mukmin yang taat, akan menjadi tambahan pahala, menaikkan derajat di sisi Allah dan mengurangi banyaknya dosa.
Sebagaimana sabda “RasulullahShallallahu alaihi wa sallam, Umatku ini adalah umat yang mendapat limpahan rahmat Allah. Bagi umatku tiada siksaan (yang kekal di neraka) di akhirat. Siksaan bagi umatku adalah di dunia, melalui berbagai fitnah, gempa bumi dan pembunuhan. (HR. Abu Dawud no. 4278)
2. Menjauhi fitnah tatkala belum jelas pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah.
Adapun saat terkena fitnah dan badai ujian, ia menerimanya dengan penuh kesadaran.
Dari Miqdad bin Aswad ia berkata: “Demi Allah, saya telah mendengar RasulullahShallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang dijauhkan dari berbagai fitnah. Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang dijauhkan dari berbagai fitnah. Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang dijauhkan dari berbagai fitnah. Dan juga bagi orang yang mampu bersabar saat mendapat ujian. Sungguh telah beruntunglah ia.” (HR. Abu Dawud no. 4263, hadits shahih)
3. Hidup berjamaah dengan kaum muslimin yang lain
Selama masih mampu hidup secara berjamaah dengan kaum muslimin yang lain, saling memberi dan menerima manfaat sesama anggota masyarakat maka hidup berjamaah adalah pilihan yang harus dilakukan. Sekalipun dalam kehidupan bermasyarakat kadang seorang muslimin mendapat tantangan, gangguan dan “godaan-godaan” yang mengeruhkan imannya, namun bersabar dalam menghadapi semua tantangan tersebut adalah lebih baik dari hidup sendirian tanpa bisa saling memberi dan menerima manfaat dari sesama anggota masyarakat.
RasulullahShallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
Seorang mukmin yang bergaul dengan masyarakat dan mampu bersabar atas gangguan mereka adalah lebih besar pahalanya (dalam riwayat lain: lebih baik) daripada seorang mukmin yang tidak mau bergaul dengan masyarakat dan tidak mampu bersabar atas gangguan mereka.” (HR. Tirmidzi no 2507, Hadits shahih)
4. Mengucilkan diri dari fitnah
Apabila ada perpecahan antara kaum muslimin yang menyebabkan terjadinya peperangan saudara, sementara kita tidak bisa memilah pihak mana yang berada di atas kebenaran dan pihak mana yang berada di atas kebatilan, maka hendaknya kita mengucilkan diri dari fitnah tersebut. Kita tidak selayaknya melibatkan diri dalam perselisihan tersebut.
Dari Abu Bakrah ia berkata: Rasulullah bersabda, “Kelak sungguh akan terjadi sebuah fitnah, pada saat itu orang yang berbaring adalah lebih baik dari orang yang duduk, orang yang duduk adalah lebih baik dari orang yang berdiri, orang yang berdiri adalah lebih baik dari orang yang berjalan, dan orang yang berjalan adalah lebih baik dari orang yang berlari.
Abu Bakrah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang Anda perintahkan kepadaku (kalau aku mendapati masa tersebut)?”
Beliau menjawab, “Barangsiapa mempunyai unta, hendaklah ia mengikuti (sibuk mengurusi) untanya. Barangsiapa mempunyai kambing, hendaklah ia mengikuti (sibuk mengurusi) kambingnya. Barangsiapa mempunyai tanah pertanian, hendaklah ia mengikuti (sibuk mengurusi) tanah pertaniannya.”
Abu Bakrah bertanya, “Barangsiapa dengan orang yang tidak mempunyai satu pun dari hal itu?”
Beliau menjawab, “Hendaklah ia mengambil pedangnya, memukulkan bagian yang tajam ke sebongkah batu keras, dan mencari selamat sebisa mungkin.” (HR. Muslim no. 2887, Abu Dawud no. 4256 dan Ahmad no. 20490)
5. Uzlah saat kondisi sudah betul-betul rusak parah
Pilihan untuk uzlah (mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat dengan tujuan mencurahkan waktu untuk beribadah kepada Allah semata) hendaknya hanya dilakukan ketika masyarakat betul-betul sudah rusak parah, mengalami dekadensi moral yang sangat buruk dan tidak bisa diperbaiki sedikit pun.
Saat orang-orang shalih yang diharapkan bisa berjuang bersama untuk memperbaiki keadaan masyarakat telah tiada dan yang tersisa di masyarakat hanyalah komunitas “sampah masyarakat”, maka pada saat itulah seorang muslim layak mengambil uzlah sebagai pilihan.
Riwayat-riwayat yang mengajarkan konsep uzlah di saat ujian keimanan sangat berat bukan perintah untuk mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat, namun dengan tetap mengajak mereka untuk bergabung bersama melakukan “uzlah” dan membentuk sebuah basis masyarakat baru yang terbebas dari semua bentuk fitnah itu –meskipun tidak mampu bebas secara total.
Ini juga berarti keharusan bagi setiap muslim untuk hidup berjama’ah meski di tengah suasana uzlah. Sebab, kehidupan berjamaah yang terdiri dari orang-orang yang memiliki tujuan yang sama akan memudahkan mereka untuk bersikap istiqamah. Kehidupan berjamaah akan menumbuhkan sikap saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Sementara sikap uzlah yang tidak proporsional akan cepat melahirkan sikap futur dan putus asa dalam memegang bara kebenaran.
6. Bergabung dengan kelompok kecil umat Islam yang masih istiqomah
Ketika masyarakat telah mengalami kerusakan akidah, akhlak dan sosial yang parah, namun pada saat yang sama masih ada sejumlah kecil umat Islam yang teguh memegang, mengamalkan, mendakwahkan dan memperjuangkan kebenaran, maka pilihan uzlah adalah pilihan yang terakhir. Sikap yang lebih tepat adalah bergabung dengan kelompok tersebut untuk tolong-menolong dalam melaksanakan kebajikan dan ketakwaan, dan memerangi kejahatan dan permusuhan.
Wallâhu a‘lam bish-shawâb.
(samirmusa/arrahmah.com)