BEKASI (Arrahmah.com) – “Semua orang kafir itu bodoh karena mereka tidak mengerti sedikitpun tentang agama, tapi mereka berbohong atas nama agama untuk menguasai dunia!” Pernyataan tersebut disampaikan Ustadz Abu M. Jibriel AR. pada acara Kuliah Umum Majelis Ilmu Ar-Royyan yang diselenggarakan di Masjid Muhammad Ramadhan, Galaxy Bekasi, Ahad (11/12).
Acara yang rutin digelar tiap ahad kedua setiap bulan tersebut dihadiri oleh sekitar tigaratusan jama’ah dari Jabodetabek. Tema bertajuk ‘Mewaspadai Kejahatan Kristen Radikal Di Indonesia’ tersebut diangkat untuk kembali mengingatkan masyarakat muslim tentang beragam upaya dan makar kaum misionaris yang kian hari semakin terlihat menggurita.
Bila dilihat dari pengalaman sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, maka akan bisa dilihat bahwa Kristen di Indonesia ibarat sebuah duri dalam daging, mereka selalu saja melakukan pengkhianatan, baik terhadap kesepakatan nasional maupun dalam aktifitasnya menghambat semua aspirasi umat Islam termasuk apa yang menjadi kebutuhan umat Islam itu sendiri dalam menjalankan ibadahnya, seperti penegakan syari’at Islam.
Sementara itu, Ketua Forum Anti Gerakan Pemurtadan, Ustadz Abu Deedat Syihab, MH mengatakan bahwa umat Islam menghadapi tantangan yang semakin berat, baik dari dalam tubuh umat sendiri, seperti penyesatan pola pikir dari kaum liberalis dan pluralis, maupun tantangan dari kalangan kaum kuffar dengan misi penyebaran agamanya. Fakta di lapangan sudah cukup banyak ditemukan tentang upaya-upaya pemurtadan dan penyesatan aqidah, mulai dari pembagian paket sembako, penyebaran buku-buku yang sarat akan misi kristenisasi, hingga kasus-kasus melalui kesaksian palsu para murtadin. Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi umat Islam sendiri untuk bersegera mencari solusinya.
“Gerakan misionaris itu bertugas menyebarkan dan membumikan Injil di negara-negara Islam, Indonesia salah satunya. Mereka mengkampanyekan diri dengan aktif mendirikan berbagai yayasan berkedok Islam, seperti misalnya Yayasan Aulia yang berlokasi di Jakarta Utara dengan ajaran Islam Hanifnya. Yayasan ini dibentuk oleh Robert Paul Walean yang bekerja sama dengan Ahmad Mushaddeq dengan jaringannya yang telah berganti nama menjadi Komunitas Millah Abraham (KOMAR),” paparnya.
Ragam lain upaya kristenisasi di Indonesia yang sedang marak terjadi selanjutnya adalah dengan mengadakan aneka kegiatan sosial yang menjaring banyak massa terutama dari kalangan umat Islam yang miskin dan tentu saja yang berpendidikan rendah. Kegiatan tersebut dalam prakteknya telah disamarkan namanya agar tidak menarik kecurigaan umat Islam, seperti penggunaan kata festival atau karnaval. Ini diakui sendiri oleh Dr. Peter dalam suatu wawancara ketika ditanya tentang mengapakah program ibadahnya menggunakan kata festival. Ia mengatakan bahwa penggunaan kata festival atau karnaval sama sekali tidak memberikan kesan keagamaan sehingga tidak akan ‘melukai hati’ umat Islam. ” Penggunaan kata KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) tidak kita gunakan, akan tetapi kita menggantinya dengan kata Revival atau Celebration (perayaan), sehingga kalau suatu kegiatan akan diadakan di Surabaya, maka kita menuliskannya di poster dengan Surabaya Festival, bukan Injil Festival, misalnya. Kitapun tidak akan langsung berkhotbah di poster atau di iklan, akan tetapi kita akan berkhotbah di festival, yaitu setelah mereka (umat Islam) hadir, saat itulah kita sampaikan Injil.”
Semua upaya yang para misionaris tersebut kerjakan tentu saja sejalan dengan misi Kristen yang juga dikenal dengan ‘Misi Global’ yaitu suatu gerakan misi keagamaan yang dilakukan oleh gereja dan segenap komponen Kristen yang bertujuan untuk menguasai dunia secara struktural dan kultural. Gerakan tersebut dikatakan sebagai implementasi dari apa yang tercantum dalam Matius 28: 19-20, yaitu bahwa para pengikut Tuhan Yesus diserukan untuk pergi menyebar ke seluruh pelosok dunia agar membaptis setiap bangsa agar menjadi pengikut Tuhan Yesus.
Ustadz Abu Deedat pada akhir ceramahnya juga menyampaikan bahwa pemerintah seharusnya bertindak cepat dalam menangani gerakan penyebaran agama yang sudah tidak mematuhi kode etik tersebut guna menghindari insiden atau konflik akibat umat Islam selalu merasa tidak mendapat perlindungan hukum dan jaminan hukum terhadap rongrongan pihak lain.
Tabligh yang digelar sejak pukul 09.15 dan berakhir menjelang waktu dzuhur itu ditutup ustadz Abu M. Jibriel dengan menegaskan bahwa tauhid, syari’at, dan jihad tidak bisa dipisahkan. Ketiganya merupakan satu-kesatuan yang sangat diperlukan guna mengembalikan tegaknya izzah Islam, Wallahu’lam bishawab.
(ummu sulaim/arrahmah.com)