(Arrahmah.com) – Setelah bom Ankara, kini upaya kudeta yang dilakukan militer Turki pada Jumat (15/7/2016) untuk menggulingkan pemerintahan Turki dibawah pimpinan Tayyip Erdogan dikabarkan tengah berlangsung di negara tersebut. Ankara, sebagai ibukota Turki mendadak berubah menjadi medan perang setelah personil militer mengerahkan kekuatan mereka ke pusat kota. Pemerintah Turki mencopot dua jenderal dan seorang laksamana yang diduga merencanakan pemberontakan.
Kelompok Gulen disinyalir menjadi motor dibalik kudeta militer Turki untuk menggulingkan Pemerintahan Presiden Reccep Tayyip Erdogan. The Guardian melaporkan, seorang sumber di lingkaran Presiden Reccep Tayyip Erdogan menyampaikan kepada media di London, Inggris, tentang kelompok Gulen yang menginfiltrasi militer dan melakukan serangkain kegiatan yang dilarang oleh yang pemerintahan sah saat ini. Kelompok tersebut dikuasai oleh seorang agamawan bernama Fethullah Gulenyang saat ini mendapat perlindungan dari Gedung Putih. Pemerintah Turki beberapa kali mendesak agar Washington mengekstradisi Gulen untuk diadili dipengadilan, tapi permintaan tersebut kerap ditentang oleh ‘Paman Sam’. republika.co.id (16/7)
Lawan politik AKP menuduh pemerintah menggunakan penyelidikan sebagai sarana untuk mendiskreditkan angkatan bersenjata negara sekuler itu, dengan harapan untuk menyingkirkan hambatan utama dalam mewujudkan ambisi negara Islam mereka.
Upaya kudeta bukanlah yang pertama kali dialami negeri itu. Sejak 1960, militer Turki sudah beberapa kali melakukan kudeta. Kudeta militer pertama di Turki terjadi pada 1960, ketika militer berhasil menggulingkan pemerintahan yang berujung ditahannya Presiden Celal Bayar dan PM Adnan Menderes. Selanjutnya tahun 1971 militer kembali memberontak dan menggulingkan pemerintah menyusul kekerasan dan kekacauan yang terjadi selama beberapa bulan. Tahun 1980 kudeta terjadi pada September dan militer mengendalikan pemerintahan. Militer yang dipimpin Laksamana Bulent Ulusu dan Jenderal Kenan Evren memberhentikan PM Demirel dan mengambil alih jabatan perdana menteri.
Tahun 2012 lebih dari 300 perwira militer ditangkap dan dipenjarakan oleh Recep Tayyip Erdogan, yang saat itu masih menjabat perdana menteri, karena dituding merencanakan kudeta. Konflik di Turki terjadi dalam lingkaran konflik kepentingan, jika ada klaim, bahwa peristiwa kudeta ini adalah upaya Amerika untuk menjatuhkan Erdogan melalui militer yang didalangi kelompok oposisi yang lain, maka Amerika tetap melanjutkan kebijakan politiknya di Turki dengan menggunakan seluruh elemen yang mampu didikte, baik kelompok oposisi dan pemerintah, melalui semua bidang.
Perlu diingat, Turki selama ini memang merupakan sekutu AS dan NATO bahkan sejak era Perang Dingin antara 1950 hingga sekarang. Departemen Pertahanan di Washington menekankan, pangkalan udara AS di Incirlik masih berfungsi seperti biasa. Konflik atau sengketa yang terjadi di Turki tidak memiliki arti penting bagi Amerika. Sebab semua itu hanyalah upaya untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari kue kekuasaan oleh masing-masing pihak.
AS masih mendikte Turki, dan agresif mempropagandakan kepada dunia Muslim bahwa Turki sebagai model atau acuan dalam pemerintahan dan ekonomi terus beredar. Dari sisi politik mereka menganggap Turki sebagai contoh negara yang berhasil memadukan Islam dengan sekularisme. Islam dipresentasikan oleh partai yang mengemban karakter Islam pada saat dia menerapkan sistem pemerintahan sekular yang dipresentasikan oleh negara madani. Model ini dimaksudkan untuk bisa memengaruhi cara pandang kaum Muslim di negeri-negeri Islam lain. Tujuannya agar mereka menjadikan Turki sebagai contoh dan acuan sebagaimana terjadi di Mesir tidak lama setelah revolusi rakyat menggulingkan Husni Mubarak.
Dalam sebuah konferensi pers di Zagreb sebelumnya Erdogan mengatakan bahwa pandangannya di mana dirinya selalu menekankan bahwa negara harus tetap pada jarak yang sama dari semua keyakinan agama, dengan menjelaskan bahwa ini adalah sekularisme.
Saat Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan memenangi Pemilu Turki 2011, Erdogan menjanjikan kesempatan untuk membuat konstitusi baru dengan konsensus. “Kita akan membuat sebuah konstitusi liberal sama sekali. Timur, barat, utara dan selatan akan menemukan diri dalam konstitusi ini,” terang Erdogan. Pernyataan Erdogan , tampaknya untuk menghilangkan keraguan tudingan Partai Erdogan akan menerapkan syariah Islam.
Kebijakan Turki sedang menunggu lampu hijau dari Amerika untuk melakukan apapun yang Amerika perintahkan. Termasuk perintah Amerika untuk melatih dan melengkapi pasukan oposisi moderat yang mengadopsi sekulerisme dan demokrasi supaya melawan kelompok-kelompok Islam, yang dianggapnya sebagai kelompok teroris dan ekstrimis, guna mencegah berdirinya negara khilafah Islam yang berdasarkan metode kenabian, dan memperkuat negara sekuler di Suriah, setelah jatuhnya Bashar al-Assad, yang rezimnya disebut sebagai benteng sekulerisme.
Umar Syarifudin, Syabab HTI (Pengamat Politik Internasional)
(*/arrahmah.com)