Oleh : Abdus Salam (Pengamat Politik)
(Arrahmah.com) – Momentum kudeta Turki mengingatkan kita akan kekhawatiran AS atas ambisi Turki menyangkut kawasan luar perbatasannya yang di Wikileaks
digambarkan keprihatinan mereka atas kehandalan Turki. Ahmet Davutoglu, Menlu Turki menyatakan ambisi Turki dalam sebuah pidato pada bulan Oktober 2009. Ia berkata : “Sejarah Balkan penuh dengan kisah sukses. Kita bisa menemukan kembali keberhasilan ini. Kita bisa menemukan kembali keberhasilan ini melalui penciptaan kepemilikan asli, ini adalah Balkan Ustmani. Kita akan kembali membangun Balkan
ini. Orang-orang memanggil saya neo-Ustmani, karena itu saya tidak ingin memandang negara Ustmani sebagai masalah kebijakan luar negeri. Apa yang menjadi dasar saya adalah warisan Ustmani. Selama berabad-abad, kekuasaan Ustmani di Balkan adalah kisah sukses. Sekarang kita harus mengembalikan ini.”
Dinamika kudeta militer di Turki telah terjadi dalam beberapa kurun waktu lalu. Nampaknya untuk kudeta yang terbaru ini sebagai konsekuensi dari pilihan kebijakan sejak Abdullah Gul dan Recep Tayyip Erdogan membentuk Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dengan memperkuat hubungan dengan AS. Sebuah kerjasama dalam bentuk berbagai reformasi yang telah dilakukan untuk “mematahkan peran militer” di dalam kekuasaan pusat. Strategi AKP adalah menandatangani “Dokumen
Visi Bersama” di antara pemerintah Turki dan AS oleh Abdullah Gul dan Condoleezza Rice pada tanggal 5 Juli 2006. Pertemuan tersebut menyatakan; “Dokumen visi strategis menegaskan konsensus Turki – AS untuk menterjemahkan visi kita bersama ke dalam usaha bersama melalui kerjasama yang efektif dan dialog yang terstruktur.” AKP dan Amerika Serikat menyepakati sejumlah isu, diantaranya yang krusial adalah :
1) Mendukung upaya-upaya internasional menuju penyelesaian permanen konflik Arab-Israel, termasuk upaya internasional untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina atas dasar solusi dua negara.
2) Meningkatkan keamanan energi melalui diversifikasi rute-rute dan sumber-sumber, termasuk dari lembah Kaspia. Sebuah dengar pendapat Komite Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat AS yang berjudul Amerika Serikat dan Turki : Sebuah Model Kemitraan, berbunyi bahwa, “Kerjasama ini sangat penting bagi kedua negara dalam suatu lingkungan dimana kita menghadapi masalah keamanan serius di
Afghanistan, Iran, Irak, Balkan, Laut Hitam, Kaukasus, dan Timur Tengah, selain krisis keuangan global.”
Di satu sisi AS memiliki ambisi untuk senantiasa menjaga kepentingan melalui kemitraannya di Turki. Di sisi lain AS juga mengkhawatirkan munculnya kekuatan Turki sebagai adi daya baru yang “out of control”. Tuntutan perlunya penerapan konstitusi baru di Turki belakangan untuk menerapkan syariat Islam meski kelihatan seolah-olah ditolak dengan penuh strategi oleh Erdogan cukup menggambarkan kondisi itu. Seperti
halnya yang ditunjukkan oleh salah satu kelompok mujahidin Thaliban yang disokongnya untuk mengusir Rusia. Namun belakangan justru menjadi kendala tersendiri dalam perang berkepanjangan yang menyita energi dan atensi AS di Afghanistan hingga kini. Meski AS terus membangun upaya keberlangsungan pemerintahan Demokratis bonekanya. Sebagaimana diketahui bersama pula bahwa kudeta Turki di balik latar upaya Rusia untuk mempersatukan negara-negara pasca keruntuhannya dan Turki telah mengokohkan hubungan kemitraannya secara tetap dengan AS. Dimana Turki pasca runtuhnya Uni Soviet, telah mampu menyediakan pasar bagi Eropa Timur, Balkan dan Kaukasus, termasuk juga menunjukkan kepercayaan baru di luar perbatasan Turki.
Bukan tanpa alasan Turki akan muncul menjadi kekuatan baru pasca lama absen setelah era Ustmani. Beberapa ahli menggambarkan kekuasaan Turki sekarang sebagai Neo Ustmaniism. Sebagaimana diungkap oleh John Feffer sebelumnya beberapa tahun yang lalu, direktur bersama (co-director) Foreign Policy in Focus, yang mengatakan : “Turki memang menjadi kandidat negara adidaya di masa depan. Ekonomi Turki berada di peringkat 10 besar pada tahun 2050 nanti. Kekuatan ekonominya juga dipertahankan dengan baik; setelah puluhan tahun mendapat bantuan dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), militer Turki sekarang menjadi kekuatan utama di kawasannya. Mungkin yang paling penting adalah bahwa Turki menempati jalur persimpangan penting antara Eropa, Timur Tengah, dan Asia Tengah. Sebagai sebuah negara demokrasi mayoritas Muslim yang berdiri di atas reruntuhan Byzantium, Turki menjembatani tradisi Islam dan Yahudi-Kristen, apalagi dengan posisinya yang tepat berada di perhubungan politik energi. Dulu, pepatah mengatakan bahwa banyak jalan menuju Roma; hari ini semua jaringan pipa tampaknya mengarah ke Turki. Jika status adidaya mengikuti aturan real estate – lokasi, lokasi, lokasi, maka Turki sudah pasti akan berada di puncak. Allahu a’lam bis showab.
(*/arrahmah.com)