PARIS (Arrahmah.com) – Prancis akhirnya menangguhkan operasi militer gabungannya dengan pasukan Mali pasca kudeta pekan lalu yang mengguncang Mali. Prancis “menunggu jaminan” bahwa warga sipil kembali ke posisi kekuasaan.
Tentara Mali pada 25 Mei lalu menahan Presiden sementara Bah Ndaw dan Perdana Menteri Moctar Ouane serta melucuti kekuasaan mereka usai perselisihan karena perombakan kabinet.
Assimi Goita, kolonel yang memimpin kedua, diangkat sebagai presiden pada 28 Mei.
Menanggapi kudeta terbaru oleh tentara, blok regional Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) dan Uni Afrika menangguhkan Mali dari organisasi mereka dan mengancam memberikan sanksi.
Prancis, bekas penguasa kolonial di wilayah tersebut, memiliki sekitar 5.100 tentara di wilayah tersebut di bawah Operasi Barkhane yang mencakup lima negara di Sahel – Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania dan Niger.
Misi tersebut diluncurkan setelah Prancis melakukan intervensi pada tahun 2013 untuk membantu mengusir para pejuang perlawanan yang telah menguasai sebagian Mali.
Pengumuman Prancis merupakan “pukulan” bagi penguasa militer Mali serta bagi tentaranya yang saat ini sedang memerangi kelompok-kelompok bersenjata di utara dan tengah negara itu.
“Prancis adalah mitra utama mereka. Ini bukan hanya penangguhan kerja sama militer, tetapi juga berarti ratusan instruktur dan pelatih yang tergabung dalam pasukan Mali tidak lagi bekerja sama dengan angkatan bersenjata Mali,” ungkap Nicolas Haque, dilansir Al Jazeera (3/6/2021).
Selama akhir pekan, Presiden Emmanuel Macron telah memperingatkan Prancis akan menarik tentaranya keluar dari Mali jika bergerak menuju apa yang disebutnya “Islamisme radikal” setelah kudeta.
“Islamisme radikal di Mali dengan tentara kita di sana? Tidak pernah,” ancam Macron. (hanoum/arrahmah.com)