RIYADH (Arrahmah.com) – KTT Dewan Kerjasama Teluk (GCC) ke-39 berakhir di ibukota Saudi, Riyadh, pada Minggu (9/12/2018), tanpa ada terobosan besar untuk menyelesaikan krisis diplomatik yang terus melanda kawasan itu, demikian dilansir Al Jazeera Senin (10/12).
Krisis Teluk, yang digambarkan sebagai “gajah di ruangan”, tidak digarisbawahi di puncak tahunan tersebut. Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA) dan Mesir telah memberlakukan blokade udara, darat dan lautan Qatar sejak Juni 2017.
Keempat negara tersebut menuduh Qatar mendukung “terorisme”. Qatar membantah tuduhan itu dan mengatakan boikot itu bertujuan untuk melanggar kedaulatannya.
Sementara krisis tidak secara eksplisit disebutkan selama pertemuan, seruan untuk persatuan dikeluarkan pada akhir pertemuan dalam komunike bersama.
Juru bicara kementerian luar negeri Qatar mengecam komunike tersebut melalui Twitter karena tidak membahas atau menyelesaikan blokade di Qatar.
Raja Saudi, Salman bin Abdulaziz, telah mengundang Emir Qatar, Syekh Tamim bin Hamad al-Thani untuk menghadiri perundingan, tetapi Emir menjauh dari KTT tahunan.
Sebaliknya, sebuah delegasi yang dipimpin oleh Menteri Negara untuk Urusan Luar Negeri Qatar, Sultan bin Saad Al Muraikhi, mewakili negaranya di puncak pertemuan.
Keputusan itu ditanggapi dengan kritik dari beberapa anggota dewan, tetapi Doha menepis komentar tersebut.
“Qatar dapat membuat keputusan sendiri dan menghadiri KTT Kuwait [tahun lalu] sementara para pemimpin negara-negara boikot tidak,” kata Ahmed bin Saeed Al Rumaihi, direktur kantor informasi di kementerian luar negeri Qatar.
GCC, aliansi politik dan ekonomi negara-negara di Semenanjung Arab, didirikan pada tahun 1981 untuk mendorong kerja sosio-ekonomi, keamanan, dan kerjasama budaya.
Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan UEA berkumpul setiap tahun untuk membahas kerjasama dan urusan regional.
Selama konferensi pers setelah KTT Ahad malam (9/12), Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubair mengatakan bahwa kerjasama terus berlanjut antara Qatar dan anggota GCC lainnya di bidang operasi dan pelatihan militer, serta pertukaran keamanan dan kementerian.
“Anggota dewan bertekad bahwa krisis dengan Qatar tidak memiliki efek negatif pada dewan secara umum dan strukturnya,” katanya.
“Mengenai keamanan, hal-hal yang terus berlanjut, kerja sama militer dan pelatihan terus berlanjut, dan untuk program-program kementerian tertentu, seperti kementerian kesehatan dan kementerian perdagangan, urusan terus berlanjut,” lanjut al-Jubair.
KTT tahun ini juga datang di tengah krisis diplomatik atas pembunuhan wartawan Saudi Jamal Khashoggi, yang telah menghadapkan Riyadh pada kecaman global.
Khashoggi, kolumnis Washington Post yang tinggal di pengasingan di AS, tewas di dalam konsulat kerajaan di Istanbul pada awal Oktober.
KTT tersebut menyatakan dukungan kepada langkah-langkah Saudi dalam menangani kasus Khashoggi, meskipun ada tekanan internasional.
Sebagai pemimpin de facto Arab Saudi, Putra Mahkota Mohammed bin Salman telah mendapat sorotan atas keterlibatan negara itu dalam perang di Yaman, yang telah menyebabkan ribuan kematian warga sipil, serta tindakan kerasnya yang semakin meluas terhadap perbedaan pendapat publik di kerajaan.
Deklarasi penutup mengumumkan bahwa dewan akan terus mendukung perjuangan Palestina, dan solusi politik untuk perang di Yaman.
Deklarasi ini juga mengungkapkan bahwa negara-negara anggota akan bekerja untuk memastikan kesatuan keuangan sampai 2025, dan bekerja untuk membentuk komando militer yang bersatu. (Althaf/arrahmah.com)