Oleh: Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)
(Arrahmah.com) – Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dibentuk di Maroko pada 25 September 1969 yang dituangkan dalam Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa dan hak asasi manusia (HAM). Saat ini, OKI beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim di Asia dan Afrika. Salah satu tujuan pokok pembentukan OKI adalah membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Setidaknya 56 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa di Jakarta yang secara khusus membahas isu Palestina. KTT ini mengangkat tema ‘United for a Just Solution’. Hal ini diselenggarakan untuk mencari terobosan guna menyelesaikan isu Palestina dan Al-Quds Al-Sharif. Pertemuan pejabat tinggi Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (KTT LB OKI) ke-5 fokus membahas rancangan dua dokumen hasil, yakni resolusi dan deklarasi serta langkah-langkah terkait lainnya.
Banyak pihak berharap, Indonesia sebagai negara dengan Muslim terbesar di dunia memegang tanggung jawab besar atas keberlangsungan dan efektivitas OKI sebagai media perjuangan negara-negara Islam, di tengah berbagai permasalahan yang mencuat seperti perang saudara di Suriah yang sudah berlangsung selama lima tahun dan sengketa di dalam dan di antara negara- negara Islam di Timur Tengah.
Banyak Negara baik di Asia dan Eropa dan dari benua Amerika yang menyatakan pengakuan dan dukungan bagi kemerdekaan palestina serta dukungan akan bergabungnya palestina menjadi bagian dari anggota tetap dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB.
Dalam pidato pembukaannya, Jokowi menyatakan, keberadaan OKI harus dipertanyakan jika tak sungguh-sungguh mencari jalan keluar persoalan Palestina yang saat ini wilayahnya masih diduduki secara ilegal oleh Israel.”OKI harus jadi bagian dari solusi (masalah Palestina). Jika tak bisa keberadaan OKI jadi tak relevan,” ucap Jokowi di JCC Jakarta, Senin (7/3/2016) – liputan6.com (7/3). Presiden Joko Widodo pun menyampaikan kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas bahwa Indonesia mendukung berbagai terobosan dan inisiatif untuk menyelenggarakan konferensi internasional tentang perdamaian Palestina.
Dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina, lanjut Presiden, akan dilaksanakan sesuai kerangka “two-state solution” yang mengikuti format PBB. Indonesia mendukung berbagai terobosan, inisiatif untuk menyelenggarakan konferensi internasional tentang perdamaian Palestina. Terkait rencana peresmian Konsul Kehormatan RI di Ramallah pada bulan ini, Jokowi menyampaikan terima kasih atas persetujuan yang diberikan. Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah Indonesia akan mengutus Menlu Retno ke Ramallah untuk meresmikan Konsul Kehormatan tersebut.
Harapan umat Islam, tentu ada langkah kongkrit dari penguasa negeri-negeri muslim untuk membebaskan kembali rakyat dan tanah Palestina seutuhnya. Namun berkaca dari pengalaman sebelumnya, seringkali dukungan terhadap kemerdekaan Palestina, hanya sekadar retorika politik kosong, tanpa ada bukti nyata. Sekadar pencitraan untuk mencari simpati umat yang memang sangat berharap penjajahan Palestina bisa dihentikan. Terkait dengan dukungan dari Negara-negara peserta KTT OKI, dukungan ini bisa diduga untuk membangun citra anti penjajahan.
Fatamorgana
Jika dihitung sejak pendudukan Israel sekaligus pendirian Negara Yahudi itu di Palestina pada tahun 1948 hingga hari ini, maka Tragedi Palestina sudah berumur lebih dari 68 tahun. Selama itu pula sudah tak terhitung korban di pihak rakyat Palestina oleh kebiadaban Yahudi tersebut. Kekejaman demi kekejaman yang dilakukan oleh Yahudi terhadap rakyat Palestina seolah tak pernah akan berhenti, terus berulang dari waktu ke waktu.
Sejarah puluhan tahun telah membuktikan, segala upaya diplomasi selalu gagal dalam menindak dan menghukum Israel. Serangan Israel terhadap kapal kemanusiaan dan aktifis di atasnya membuktikan bahwa Israel sama sekali tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan. Juga menunjukkan bahwa satu-satunya bahasa yang dipahami oleh Israel adalah bahasa perang. Karenanya hanya bahasa perang sajalah yang akan bisa diperhatikan oleh Israel.
Dengan adanya konspirasi Zionisme-Imperialisme ini, jelas perdamaian apapun yang digagas oleh negara-negara Barat pimpinan AS, meski itu melibatkan PBB, adalah perdamaian yang penuh kepura-puraan. Terakhir, peta jalan (road map) yang diprakarsai oleh kwartet AS, Uni Eropa, Rusia dan PBB jelas bernasib sama dengan usulan perdamaian yang lain seperti Konferensi Madrid (Oktober 1991) dan Perjanjian Oslo (September 1993). Berdasarkan peta jalan ini, dijanjikan sebuah negara Palestina yang merdeka pada tahun 2005. Faktanya, hingga tahun 2011 ini, kemerdekaan Palestina masih sebatas mimpi. Bahkan ada kesan, Amerika sebagai penyokong utama institusi Israel, siap untuk terus menghambat kemerdekaan Palestina dan pengakuan dari PBB.
Bahkan jika pun puluhan resolusi itu berhasil dikeluarkan oleh PBB, tidak pernah efektif menindak Israel atas kejahatannya itu. Lagi-lagi sejarah menunjukkan bahwa resolusi PBB itu seakan hanya efektif diberlakukan terhadap negeri-negeri Islam namun melempem dan tumbul terhadap Israel. Sejak berdirinya Israel sudah melanggar lebih dari 85 resolusi PBB, namun tidak ada satupun tindakan tegas dijatuhkan terhadap Israel. Maka lagi-lagi sejarah dengan gamblang mengatakan resolusi PBB tidak akan berarti apa-apa. Karena itu menggantungkan tindakan tegas dan hukuman terhadap Israel kepada PBB dengan resolusinya adalah sia-sia. Kenyataan itu sudah diketahui oleh semua orang.
Termasuk dengan berbagai acara-acara seremonial konferensi, termasuk KTT OKI, para penguasa dan politisi pasti sangat mengetahui kenyataan bahwa seruan-seruan dan pengakuan kemerdekaan Palestina bukanlah solusi riil. Lalu kenapa sesuatu yang sudah jelas tidak efktif itu masih saja diupayakan dan dijadikan sandaran harapan?
Pernyataan berulang mendukung kemerdekaan Palestina kerap disampaikan Indonesia. Namun kita perlu tegaskan, dukungan yang diberikan selama ini tidaklah cukup. Bahkan jauh dari upaya sungguh-sungguh untuk menyelesaikan persoalan Palestina. Sebab persoalan Palestina bukanlah masalah pertanian, bukan pula masalah keuangan mikro atau pemerintahan yang bersih. Namun masalah Palestina adalah keberadaan penjajah Yahudi di bumi yang diberkati itu. Kita ulangi , persoalan Palestina adalah masalah penjajahan entitas Yahudi.
Segala bentuk solusi yang tidak mengarah kepada penghilangan penjajahan ini tidak akan menyelesaikan persoalan Palestina. Termasuk pemberian kemerdekaan kepada Palestina dalam konteks “solusi dua negara” (two states solution ) yang diadopsi Indonesia. Solusi ini justru merupakan pembenaran terhadap keberadaan penjajah Yahudi yang ilegal.
Bantuan kesehatan hanya bersifat mengobati, setelah itu penjajah Yahudi,- kalau tidak ada yang mencegah-, kembali membombardir , membunuh, dan melukai umat Islam. Bantuan pembangunan atau ekonomi pun tidak begitu berarti, apabila serangan bersenjata yang menargetkan rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, dan pemukiman penduduk tidak dihentikan. Dibangun, berhenti sejenak, dihancurkan lagi. Begitulah terjadi secara berulang.
Keterlibatan Indonesia dalam proses perdamaian yang disponsori PBB, Amerika Serikat, atau negara-negara Eropa, tidak akan menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Pasalnya, segala bentuk proses perdamaian ala Barat, tetap dalam kerangka mempertahankan penjajah Yahudi. Padahal penjajah ini lah yang menjadi persoalannya. Proses perdamaian hanyalah membuang-buang waktu yang memperpanjang penderitaan rakyat Palestina.
Jalan terang
Palestina merupakan negeri Islam yang ditaklukkan secara damai oleh Daulah Khilafah Islamiyyah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hâfidz Abu Qâsim Ibnu ‘Asâkir di dalam al-Mustaqshâ fi Fadhail al-Masjid al-Aqsha, setelah menaklukkan Damsyiq beliau kemudian mengarahkan pasukannya yang dipimpin oleh Abu Ubaidah ke daerah Iliya (Palestina) dan mengepung daerah tersebut selama beberapa hari hingga penduduk negeri tersebut meminta damai kepada kaum Muslimin dengan syarat Umar bin Khattab menjumpai mereka.
Bertolak dari kenyataan tersebut, tanah Palestina termasuk dalam katagori ardh al-shulhi (tanah yang diperoleh melalui perundingan damai). Sedangkan status ardh al-shulhi sesuai dengan isi perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Islam dengan penduduk negeri yang ditaklukkan. Selama tidak bertentangan dengan syara’, kaum Muslim pun wajib menaati klausul perjanjian yang telah disepakati itu. Rasulullah saw bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Perjanjian damai itu boleh antara kaum Muslim kecuali perjanjian damai yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR Abu Dawud dan al-Tirmidzi).
Di dalam kitab ‘Awn al-Ma’bûd dijelaskan bahwa kata bayna al-muslimîn memberikan makna kharaja makhraj al-ghâlib (mengikuti adat kebiasaan). Alasannya, perjanjian damai antara kaum Muslim dan kaum kafir diperbolehkan. Pada ghalibnya, yang diseru dengan hukum adalah kaum Muslim. Sebab, merekalah yang bersedia tunduk terhadapnya.
Rasulullah saw juga bersabda:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Kaum Muslim tunduk dengan syarat-syarat mereka (HR al-Bukhari, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi).
Berkaitan dengan tanah Palestina, terdapat klausul yang jelas mengenai status Yahudi. Di situ termaktub: Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi boleh tinggal di Iliyâ.
Ketentuan ini berlaku hingga hari kiamat. Berdasarkan klausul tersebut, kaum Yahudi tidak boleh tinggal di Palestina. Terlebih dengan cara merampas dari pemiliknya, mengusir penduduknya, dan mendirikan negara yang berkuasa di atasnya.
Dukungan yang diberikan oleh penguasa-penguasa negeri Islam terhadap eksistensi negara Israel dan dukungan berdirinya negara Palestina jelas merupakan tindakan yang dzalim sekaligus merupakan pengkhiatan terhadap kaum muslimin. Mereka tanpa malu meridhai eksistensi negara yang berdiri di atas tanah yang dirampas dari kaum muslim. Sikap ini sekaligus menunjukkan bahwa tidak lain adalah agen-agen Barat (‘umalâ) yang terus mendukung berbagai strategi negara-negara penjajah untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin.
Solusi final
Kegagalan masyarakat internasional, konvensi-konvensi dan lembaga-lembaga internasionalnya, untuk melindungi umat Islam Palestina, telah menjadi jelas. Bahkan hal yang sebaliknya telah terjadi . Merekalah yang justru menyetujui penindasan ini. Merekapun mendukung kejahatan keji terhadap umat Islam yang menjadi korbannya.
Maka jalan satu-satunya untuk menindak tegas Israel adalah dengan memobilisasi tentara dan senjata untuk mengepung Israel dan menghancurkannya serta menghukum para pemimpin dan siapa saja yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap kaum muslim khususnya penduduk Palestina. Negeri-negeri Islam sejatinya memiliki kekuatan militer dan persenjataan yang lebih dari mencukupi untuk melakukan itu. Yang belum ada di negeri kaum muslim adalah seorang penguasa mukhlis yang mau memobilisasi militer dan persenjataannya untuk melakukan itu.
Perlu kembali kita tegaskan, siapapun yang memang sungguh-sungguh dan serius untuk membebaskan Palestina dan negeri-negeri Islam lainnya, harus sungguh-sungguh pula memperjuangkan tegaknya Khilafah Islam. Apalagi, tegaknya khilafah adalah merupakan kewajiban syar’i yang tidak boleh kaum Muslimin berlepas dari dari kewajiban ini.
Karena itu kaum Muslim harus berjuang keras mewujudkan pemimpin mukhlis itu yaitu dengan membaiat seorang khalifah yang rasyid dan mukhlis. Khalifah akan menggerakkan tentara dan memobilisasi persenjataan dalam rangka jihad membela Islam dan kaum Muslim, membela penduduk Palestina dan siapapun dari kekejaman dan kebrutalan Israel dan mencabutnya entitas zionis itu sejak dari akarnya.
(*/arrahmah.com)