Akhir-akhir ini kerap terdengar seruan perlunya penafsiran ulang alias reinterpretasi al-Qur’an dan ajaran Islam. Alasan yang sering dikemukakan antara lain karena kitab suci ini dikatakan merupakan refleksi dari dan reaksi terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi yang primitif dan patriarkis. Karena itu, ayat-ayat al-Qur’an yang terkesan ‘menindas’ wanita, seperti membolehkan poligami, menekankan superioritas suami, mengatur pembagian warisan, ataupun yang terkesan tidak manusiawi (barbarian), seperti ayat-ayat jihad/qital dan hukum pidana (hudud), seperti soal potong tangan, qishash dan rajam, semua ini perlu ditinjau dan ditafsirkan kembali agar sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai demokrasi, perlu direinterpretasikan agar sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia modern yang sedang dan terus berubah
Lebih jauh dari itu, sebagaimana diserukan oleh seorang aktivis JIL belum lama ini, Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa penafsiran al-Qur’an dan ajaran Islam oleh ulama atau golongan tertentu bukanlah yang paling benar dan mutlak. Setiap orang dan golongan dihimbau agar menghargai hak orang dan golongan lain untuk menafsirkan al-Qur’an dan ajaran Islam “berdasarkan sudut pandangnya sendiri”. Tulisan ini bermaksud mengkritisi gagasan perlunya reinterpretasi al-Qur’an dan liberalisasi tafsir tersebut secara metodologis dan epistemologis.
Kritik Metodologis
Para penyeru gagasan reinterpretasi al-Qur’an umumnya tidak menyadari bahwa apa yang mereka kerjakan sebenarnya sangat rawan secara metodologis. Menafsirkan al-Qur’an bukanlah perkara ringan dan sepele. Tidak sembarang orang bisa dan bebas melakukannya. Nabi Muhammad SAW, yang kepadanya kitab suci itu diwahyukan, pernah bersabda: “Siapa saja yang mengatakan sesuatu mengenai al-Qur’an tanpa landasan ilmu (bi-ghayri ‘ilm) atau dengan opininya sendiri (bi-ra’yihi), maka ia telah memesan tempat duduknya di neraka” (HR Imam Tirmidzi). Itulah sebabnya mengapa tokoh sekaliber Abu Bakr as-Siddiq ra tidak mau banyak komentar ketika ditanya mengenai tafsir suatu ayat. Jangankan melakukan re-interpretasi, membuat interpretasi saja beliau tidak berani (Lihat: H. Birkeland, Old Muslim Opposition against the Interpretation of the Koran, Oslo: Norske Videnskaps Akademi, 1955).
Apakah ini berarti kita tidak boleh menafsirkan atau menafsirkan kembali al-Qur’an? Jawabannya tentu saja negatif. Interpretasi dan reinterpretasi dibolehkan asalkan dengan ilmu dan tidak berdasarkan opini semata-mata. Buktinya khazanah intelektual Islam sangat kaya dengan pelbagai kitab tafsir hasil ijtihad para ulama dari abad ke abad. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah mendoakan Ibn ‘Abbas agar dianugrahkan ilmu untuk memahami al-Qur’an. Memang terbukti akhirnya saudara sepupu beliau ini dikenal paling banyak tahu dan ahli dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam hadis lain dikatakan bahwa al-Qur’an itu dzu wujuuh, mengandung banyak aspek, makna, intensi, pendekatan dan sudut pandang, sehingga bisa dipahami dan ditafsirkan macam-macam. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa setiap lafaz dari al-Qur’an itu beraspek ganda: zahir dan batin, tersurat dan tersirat, literal dan non-literal. Semua keterangan ini menunjukkan bahwa pada prinsipnya al-Qur’an boleh saja ditafsirkan.
Jika menafsirkan al-Qur’an tidak dilarang, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apa batasan prasyarat “harus dengan ilmu dan tidak dengan opini” dalam hadis tersebut di atas? Kapan seseorang dianggap layak untuk menafsirkan al-Qur’an? Dan kapan suatu interpretasi dikatakan atas dasar opini? Mengenai kualifikasi apa saja yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, literatur ulumul Qur’an dan usul fiqih sudah cukup menjelaskannya. Untuk layak menafsirkan al-Qur’an, anda harus menguasai bahasa Arab dan literatur hadis secara mendalam dan komprehensif, tidak setengah-setengah atau sepotong-sepotong. Jika prasyarat ini sudah terpenuhi, anda disarankan mengikuti prosedur yang berlaku: menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, dan atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan Sunnah/hadis Rasulullah SAW, dan atau menafsirkannya dengan keterangan para mufassirin dari kalangan Sahabat, Tabi’in, dan para ulama salaf. Demikian ditegaskan oleh Imam as-Suyuti dalam kitabnya, at Tahbir fi ‘Ilmi t-Tafsir (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 128-9.
Lalu kapan suatu interpretasi dikatakan berdasarkan opini pribadi? Menurut Imam al-Ghazali, jenis penafsiran yang dilarang dan dikecam ada tiga. Pertama, jika anda menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan linguistik dsb semata-mata, tanpa menghiraukan keterangan hadis dan riwayat sahih. Kedua, jika anda sengaja melompati dan menafikan tafsir literal seraya membuat tafsiran allegoris, seperti golongan Batiniyah yang mengatakan bahwa kata-kata ‘api’ (naar) dalam QS 21:69 itu maksudnya kemarahan Raja Namrud, bukan “si jago merah”. Ketiga, apabila sebelum menafsirkan al-Qur’an anda sudah terlebih dulu mempunyai gagasan, teori, pemikiran, ideologi, keyakinan atau tujuan tertentu, lantas al-Qur’an anda tafsirkan sesuai dengan dan menurut apa yang ada di kepala anda itu. Ini sama dengan meletakkan gerbong di depan lokomotif (putting the chariot before the horse). Cara-cara menafsirkan al-Qur’an semacam ini masuk dalam kategori tafsir dengan opini yang pelakunya diancam api neraka, terlepas dari maksud dan niat baiknya, disadari ataupun tidak, sengaja maupun tanpa sengaja (Lihat: Ihya’ ‘Ulumiddin, Kairo, 1967, I:378-83).
Dalam konteks ini para penyeru reinterpretasi perlu mencermati lagi dua buah hadis terkait sebagai berikut: “Siapa saja yang menyatakan sesuatu tentang al-Qur’an berdasarkan opininya sendiri, kalaupun pendapatnya itu betul, maka sesungguhnya ia telah melakukan kesalahan (fa ashaaba faqad akhtha’a)” (HR Imam Abu Dawud, no.3652), dan kedua: “Seorang hakim yang telah melakukan ijtihad, jika kesimpulan ijtihadnya betul, maka untuknya dua pahala. Namun jika kesimpulannya salah, maka baginya satu pahala” (HR Imam Bukhari dan Muslim). Keterangan Nabi SAW ini sangat logis. Yang dinilai disini bukan hanya hasilnya, tetapi juga cara kerjanya. Jika keduanya betul, diberikan poin 2. Jika metodenya betul, walaupun hasilnya keliru, diberikan poin 1 (dapat pahala dan tidak berdosa). Jika prosedur penafsirannya sudah salah, meskipun kesimpulannya betul (secara kebetulan!), maka poinnya 0 (pahalanya hangus untuk menebus kesalahannya). Apalagi jika keduanya salah, maka poinnya -2 (dosanya dua kali lipat).
Kritik Epistemologis
Persoalan mendasar yang juga luput dari wacana liberalisasi tafsir adalah seputar status dan validitas suatu penafsiran. Ungkapan seorang pemikir liberal, misalnya, bahwa penafsiran al-Qur’an dan ajaran Islam oleh ulama atau golongan tertentu bukanlah yang paling benar dan mutlak, adalah pendapat yang sangat rapuh secara epistemologis. Demikian juga seruan agar setiap orang dan golongan berani menafsirkan al-Qur’an dan ajaran Islam “berdasarkan sudut pandangnya sendiri” serta mau menghargai hak orang dan golongan lain untuk membuat interpretasi sendiri. Jika dicermati secara seksama, ungkapan-ungkapan semacam ini hanya menunjukkan kerancuan berpikir yang tak disadari (paralogism) dan kekeliruan yang disengaja untuk mengecoh dan menyesatkan orang lain (sophism). Semuanya lahir dari sikap skeptis dan bermuara pada relativisme epistemologis.
Memang betul, ketika menafsirkan kitab suci, kita tidak boleh mengklaim itu bahwa kita benar-benar telah memahami maksud firman Tuhan. Tidak boleh merasa seolah-olah kita telah menangkap maksud kata-kata Tuhan yang sebenarnya. Itulah sebabnya mengapa para ulama salaf selalu mengakhiri fatwa dan karya mereka dengan kalimat: “Namun Tuhan lebih dan paling mengetahui apa yang benar” (wa Allahu a’lam bi-s shawaab). Kalimat ini sering disalahpahami. Para ulama salaf mengatakan ini bukan karena mereka ragu-ragu atau skeptis, bukan pula karena mereka menganut relativisme. Dalam masalah keilmuan, ulama salaf sangat tekun, teliti dan teguh berpendirian dan berargumentasi, sebagaimana dapat dilihat dalam literatur fiqih. Kalimat tersebut mereka ucapkan semata-mata karena ‘adab kepada Tuhan’ yang ilmuNya meliputi segala sesuatu. Adapun dengan sesama manusia, sikap yang ditunjukkan adalah kesanggupan menerima dan mengikuti kebenaran, dan bukan menampik atau mempertahankan kebalikannya.
Apakah mungkin semua penafsiran harus diterima? Jawabnya tergantung, apakah penafsiran tersebut dikemukakan oleh seorang ahli yang telah diakui kepakarannya, atau oleh seorang mufassir amatir yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saya lebih bisa menerima tafsir Imam al-Qurthubi ketimbang interpretasi seorang Mernissi atau Shahrour. Seruan tokoh liberal agar Umat Islam merelatifisir setiap penafsiran, menurut saya, adalah na’if dan tidak realistis. Na’if karena seruan tersebut akan berbalik seperti bumerang, merelatifisir dan menggugurkan pendapatnya sendiri (self-defeating). Tidak realistis karena pada kenyataannya memang tidak semua penafsiran bisa diterima, dan tidak semua penafsiran harus ditolak. Penafsiran yang dipandu oleh ideologi tertentu dan interpretasi yang dipaksakan untuk menjustifikasi suatu kepentingan tentu sulit untuk diterima.
Gagasan liberalisasi tafsir juga tidak realistis dan perlu dicurigai. Orang yang menyeru agar setiap orang dan golongan dibebaskan untuk membuat penafsiran sendiri sebenarnya tidak menyadari bahwa tidak semua orang layak dan berhak melakukannya, termasuk dirinya sendiri. Bahkan perlu dicurigai jangan-jangan seruan itu sejatinya justru tuntutan agar dirinya yang masih belum atau tidak layak itu pun diberikan hak untuk melakukan penafsiran. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika pramugari berlagak menjadi pilot. Kata peribahasa Jawa, Aja rumangsa bisa, ning bisa rumangsa, (jangan sok tahu, tapi tahu dirilah, red).
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif, M.A
Penulis adalah Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman