JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan tokoh HMI Burhanudin Muhtadi yang juga merupakan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, melontarkan pernyataan di Twitter bahwa era Prof Din Syamsuddin menjadi Ketum PP Muhammadiyah, banyak aktivis HTI yang masuk ke Muhammadiyah dan MUI.
“Saya lupa ternyata di tulisan saya tentang The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia (h. 629-630) saya mencatat pada masa beliau jadi Ketum Muhammadiyah inilah masuk aktivis-aktivis HTI ke Muhammadiyah dan MUI,” kata Burhanudin di Twitter.
Prof Din yang sedang transit di Dubai menuju Jerman untuk menghadiri konfrensi ‘Religious for Peace’, menjawab tuduhan Burhanuddin sebagai pernyataan yang mislead dan misleading.
Berikut pernyataan lengkap Prof Din
Sdr. Burhan Muhtadi,
Pernyataan anda di atas mislead and misleading. Tidak ada aktivis HTI masuk ke Muhammadiyah apalagi jadi pengurus, yang ada anggota Muhammadiyah (seperti juga dari ormas-ormas lain) keluar masuk HTI.
Kalau di MUI, HTI memang salah satu elemen umat Islam yang selalu diundang dalam Forum Ukhuwah Islamiyah sejak era Ketua Umum KH. Ali Yafie sd Ketua Umum KH. Sahal Mahfudz. MUI memang ingin menjadi Tenda Besar bagi semua elemen umat Islam (tidak kurang dari sekitar 70 organisasi).
Itu sesuai motto MUI sebagai khadimul ummah dan sekaligus al-khaimat al-kubro. Maka siapa pun Ketua Umum MUI harus mengambil sikap mengayomi semuanya, walau tidak harus bersetuju. Masak dengan umat agama lain kita berbaik, sementara sesama Muslim tidak. Tentu selama mereka tidak melakukan kekerasan.
Sebagai akademisi sebaiknya anda beri bukti siapa aktivis HTI yang jadi pengurus Muhammadiyah atau MUI. Untuk anda tahu Muhammadiyah itu organisasi paling berdisiplin; sesuai AD/ART Muhammadiyah, kalau ada aktivis ormas lain maka dia akan dikeluarkan dari kepengurusan.
Juga, mengapa hal ini anda munculkan terkait upaya saya mengklarifikasi secara akademik tentang khilafah. Kalau mau kritik, fokuskan pada substansi pemikiran, jangan personal, karena itu terkesan tidak akademik.
Tak lama setelah Din memberikan pernyataan klarifikasi, Burhanuddin akhirnya mengirimkan permohonan maaf. Ia mengatakan bahwa pernyataannya tersebut hanya ingin merespons kicauan Nadirsyah mengenai khilafah dan khalifah.
Berikut penjelasan lengkap Burhanuddin:
Kak Din yang baik, maaf tadi pas Kak Din mengirim pesan, saya dalam perjalanan dari Jakarta ke Malang. Setelah acara peluncuran buku saya selesai, saya baru bisa menanggapinya. Saya bisa memahami jika twit saya membuat Kak Din kurang berkenan, dan karenanya saya mohon maaf jika itu terjadi. Konteksnya saya menanggapi twit Nadirsyah Hosen yang viral soal statement Kak Din. Setelah itu ada senior saya yang berkomentar tentang Kak Din. Nah, lalu saya tiba-tiba teringat paper saya yang dimuat Asian Journal of Social Science 37 tahun 2009, terutama halaman 629-630. Memang fokus paper saya tersebut tentang HTI, tapi ada sub-bab pembahasan infiltrasi HTI ke ormas Islam mainstream seperti NU dan Muhammadiyah.
Sebenarnya catatan tentang masuknya HTI ke Muhammadiyah dan MUI sejak terpilihnya Kak Din sebagai Ketua Muhammadiyah tersebut, saya merujuk pada laporan Jakarta Post yang mengutip pendapat orang seperti Kautsar Azhari Nur. Selain itu, waktu riset tentang paper tersebut saya juga mewawancarai beberapa aktivis muda Muhammadiyah yang sayangnya tak bersedia dikutip di paper saya tersebut.
Nama yang disebut adalah Adian Husaini (anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah). Nama lain yang disebut sebagai pengurus MUI dari HTI adalah Ismail Yusanto dan Muhammad Alkhattath. Memang Adian sudah tak lagi aktif di HTI, tapi menurut buku Prof Syamsul Arifin yang diterbitkan UMM Press tahun 2005, Adian termasuk generasi awal HTI. Demikian pula Alkhattath juga belakangan sudah tidak aktif di HTI tapi pada saat paper itu saya tulis beliau masih aktif di HTI.
Sebenarnya apa yang saya tulis bukanlah hal baru. Tulisan Zuly Qadir di Islamika Vol. 3 tahun 2008 menyebut gamblang Muktamar Muhammadiyah di Malang yang menyebabkan tersingkirnya sayap progresif. Beliau juga menyebut pengurus HTI tingkat lokal yang mengajar di lembaga-lembaga Muhammadiyah. Juga studi Lubis dan Jamuin dari UMS.
Saya memang tak detail membahas soal ini karena fokus saya soal HTI dan ideologinya. Mungkin karena ruang yang terbatas di medsos membuat saya tak bisa panjang lebar menjelaskan sehingga terkesan menyudutkan Kak Din. Saya bisa mengerti jika Kak Din ingin menjadikan MUI sebagai tenda besar umat Islam, tapi bagi pihak lain bisa diartikan sebaliknya.
Kesalahan saya adalah pada saat saya riset paper tersebut saya tak mewawancarai Kak Din sehingga data dan informasinya terkesan satu arah. Untuk itu, sekali lagi saya mohon maaf jika twit saya terkesan personal. Sikap saya terhadap HTI tak berubah. Betapa pun saya kritis terhadap HTI, saya tak pernah setuju perpu Ormas yang menjadi pintu masuk pembubaran HTI. Ini bisa dicek di wawancara maupun twit-twit saya sebelumnya.
Sebelumnya, Prof Din Syamsuddin, yang juga merupakan ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), menghimbau kepada kedua kubu pasangan calon presiden-wakil presiden agar menghindari penggunaan isu keagamaan, seperti penyebutan khilafah karena itu merupakan bentuk politisasi agama yang bersifat pejoratif (menjelekkan) pada pilpres 2019.
Din Syamsuddin dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (30/3/2019) menyebutkan bahwa imbauan itu sesuai dengan hasil Rapat Pleno Ke-37, pada Rabu (27/3).
“Walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yg disebut dalam Al-Qur’an adalah ajaran Islam yang mulia (manusia mengemban misi menjadi Wakil Tuhan di Bumi/ khalifatullah fil ardh),” jelas Din Syamsuddin.
Ia menegaskan, mempertentangkan khilafah dengan Pancasila adalah identik dengan mempertentangkan Negara Islam dengan Negara Pancasila, yang sesungguhnya sudah lama selesai dengan penegasan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian).
“Upaya mempertentangkannya merupakan upaya membuka luka lama dan dapat menyinggung perasaan umat Islam,” tandasnya.
(ameera/arrahmah.com)