JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Muhammad Said Didu menyampaikan kritik kepada pemerintah mengenai kebijakan tes PCR.
Menurutnya, ada beberapa pelanggaran yang terjadi dalam kebijakan PCR tersebut.
Dia mengungkapkan, setidaknya terdapat dua benang merah yang ia tarik yaitu antara kebutuhan publik dan kebutuhan pribadi.
Said Didu menilai, PCR sebagai kebutuhan publik karena berhubungan dengan penyebaran virus saat seseorang menggunakan fasilitas publik contohnya pesawat terbang.
“PCR ini sebenarnya banyak sekali pelanggaran yang terjadi dalam kebijakan. Saya tidak bicara tentang harga. Pertama bahwa menyerahkan kepentingan publik untuk dibayar rakyat lewat regulasi dan dinikmati oleh swasta,” ujarnya dalam webinar virtual bertajuk ‘Bisnis Dibalik Pandemi’, Jumat (29/10/2021), lansir detik.com.
Dia menjelaskan, dalam Undang-undang Dasar Keuangan Negara dijelaskan jika rakyat membayar untuk hasil kebijakan maka harus masuk ke dalam kas negara.
Sedangkan yang terjadi saat ini, lanjutnya, uang untuk tes PCR masuk kepada swasta dan berpotensi merugikan negara.
“PCR itu kepentingan publik, tidak ada kepentingan pribadi. Karena itu tugas negara agar tidak terinfeksi, tugas negara melindungi rakyat lain untuk tidak menyebarkan virus,” tegasnya.
“Kalau ini kita biarkan, saya takutnya ada muncul bisnis lain di kemudian hari. Maksudnya kepentingan publik di bisniskan padahal itu tugas negara, apalagi saat ini masih pandemi yang pemerintah masih bebas menggunakan apapun karena masih darurat,” lanjut Said Didu.
Perihal merugikan negara, ujarnya, dalam hal memungut uang rakyat lewat aturan tetapi tidak masuk kas negara namun masuk perusahaan milik swasta.
Dia menilai kebijakan mengenai PCR tersebut sudah cacat hukum, cacat proses hingga berpotensi kerugian negara.
“Menurut saya paling penting, saya tidak mau lolos begitu saja karena ini penyimpangan kebijakan yang memberatkan rakyat dan menguntungkan orang lain. Semua kepentingan publik harus dikembalikan kepada negara, tidak boleh ada kepentingan publik yang diserahkan pembiayaannya ke rakyat, rakyat sudah membayar pajak. PCR bukan kepentingan pribadi. Kebijakan ini cacat hukum, cacat proses dan mengarah pada cacat kerugian negara,” paparnya.
Said Didu mengatakan tak ingin terjadi lagi ke depan di mana aturan dinilainya membebani rakyat dengan kewajiban dan alasan yang mengada-ada.
Dia menegaskan, jika APBN tidak dapat menutup biaya PCR tersebut minimal uang yang dikeluarkan rakyat masuk dalam pendapatan negara bukan swasta.
“Kenapa rakyat yang membayar kepentingan publik? Kalau tidak ada APBN untuk biaya itu minimal rakyat membayar dan masuk ke negara, jangan masuk ke swasta. Kalau ada untungnya ya tidak apa-apa itu harus menjadi pendapatan negara bukan swasta,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)