JAKARTA (Arrahmah.com) – Belum lama ini, kaum Syiah Indonesia menggelar perhelatan yaitu seminar internasional mengenai hari raya Idul Ghadir di GOR Padepokan Pencak Silat TMII Jakarta (3/11) yang bertepatan dengan tanggal 18 Zulhijjah, tanggal peringatan perayaan itu sendiri dan Seminar Internasional Persatuan Dunia Islam dengan tema “Islam Sebagai Rahmatan lil ‘alamin. Acara ini terbilang besar, dikarenakan dihadiri oleh beberapa tokoh nasional, pejabat Kementerian Agama RI, dan tokoh spiritual Syiah Internasional Ayatullah Ali Tashkiri, wakil Imam Syiah Ali Khameinei dalam persatuan Sunni-Syiah.
Namun, yang menjadi perhatian besar adalah banyak dari kaum Muslimin yang belum memahami latar belakang dan dampak aqidah dari perayaan Idul Ghadir tersebut. Oleh karena Itu, Anggota Komisi Fatwa dan Pengkajian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ustadz Fahmi Salim menyampaikan beberapa poin kritik terhadap tradisi tersebut. Berikut pemaparan beliau yang disampaikan kepada arrahmah.com, Selasa (6/11) :
Idul Ghodir merupakan hari raya kebanggaan Syiah. Karena, konon Ali Ra dilantik menjadi putra mahkota Rasulullah SAW. Keyakinan tersebut tertolak dengan beberapa hal dibawah ini:
-
Rasul SAW tidak mendirikan sistem monarki untuk keluarga dan keturunannya dalam membangun peradaban Islam. (Hal. 13) Tidak seperti tujuan utama para pemimpin politik umumnya pada saat itu adalah berdirinya kerajaan dan pemerintahan genealogis monarkis seperti Romawi, Byzantium, Sasanid dan lain-lain.
Sementara Rasulullah SAW berjuang untuk membangun ummat Islam yang universal. Keyakinan adanya pelantikan Ali Ra di Ghadir khum, telah banyak dibantah oleh seluruh ulama sahabat, tabi’in dan generasi setelahnya bahwa teks itu sebatas keutamaan Ali Ra dan bukan pengangkatan Ali Ra sebagai putra mahkota. Karena, jika terjadi pengangkatan Putra Mahkota, jelas menentang tujuan utama hadirnya Islam dan diutusnya Muhammad SAW.
Bisa diartikan juga, sebagai pelecehan terhadap Rasulullah dan sahabat termasuk Ali bin Abi Tholib Ra dan keturunanya yang sepakat memahami teks hadis itu bukan bermakna sebagai kepemimpinan (Al Wilayah) tetapi bermakna sebagai kasih sayang dan tolong menolong (Al Walayah/Al Muwalah). Sebab, pemahaman ulama sahabat yang menjadi ijma’ adalah bentuk Qoth’iy dalam memahami hadis.
-
Wahyu Allah yang menjadi pedoman umat Islam harus terjaga keaslian dan kelengkapannya, serta dapat dipahami oleh seluruh umat manusia secara universal, tidak bersifat eksklusif hanya dimiliki dan dipahami oleh Gen Nabi. (Hal. 16) Tanpa syarat ini, tidak ada alasan dan bukti kuat untuk menampilkan Islam sebagai alternatif solusi yang kokoh dan permanen atas kemelut dunia. Disinilah, letak salahnya akidah tahrif (perubahan) Al Qur’an dan meyakini bahwa al Qur’an yang asli baru ada ketika dibawa Al Qaim Mahdi Syiah.
-
Nabi Muhammad SAW wajib dengan sendirinya menjadi satu-satunya pusat hidayah dan pengatur syariat yang harus ditaati. (Hal.17) Tidak boleh ada seorangpun yang berserikat dalam kenabian dan pensyariatan. Sehingga, tidak ada seorangpun setelah Nabi yang berpredikat Ma’sum (terjaga dari dosa) dan menjadi sumber wahyu.
Akidah Imamah, definisi imam, dan karakteristiknya menurut Syiah sekte imamiyah itsna ‘asyriah (12 Imam) telah menentang, atau lebih tepatnya menyaingi doktrin Khatmun nubuwwah dan mirip dengan “Perserikatan kenabian” , yang jelas melanggar prinsip bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dengan segala konsekuensinya dalam hal tasyri’ (hukum), bayan, tafsir dan kema’suman.
Syaikh Waliyyullah Ad-Dahlawi (w.1176H) menyatakan bahwa “Batilnya sekte imamiyah ini bisa diketahui dari istilah Imam yang bagi mereka ma’sum, wajib ditaati, dan diwahyukan atasnya secara batin. Jelas ini adalah makna yang ekuivalen dengan nabi, sehigga mazhab mereka ini pada akhirnya akan mengingkari kenabian.” (Kitab Ad-Durru Al-Tsamin fi Mubassyirat Annabiy Alamin hal.4-5). Konsekuensi adanya doktrin Imamah yang berlaku tetap sepanjang masa akan menempatkan kenabian dalam posisi marjinal tidak sentral, ini diakui juga oleh orientalis seperti HAR Gibb dan JH Kramer dalam Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: 1953)
Inilah hasil kajian Syaikhu Masyayikhina Abul Hasan Ali Al Hasani An Nadawi, seorang ulama terpandang India.
Wallahu a’lam bishshowab .
(bilal/arrahmah.com)