JAKARTA (Arrahmah.com) – Berdasarkan pengalaman delapan tahun terakhir, Presiden SBY mengungkapkan ada dua jenis korupsi. Pertama, pejabat memang berniat korupsi. Kedua, tindak pidana korupsi terjadi karena ketidakpahaman pejabat terhadap peraturan perundang-undangan. Mengapa ini terjadi?
Para analis mengingatkan SBY seharusnya sadar bahwa justru karena ‘sangat paham’, para koruptor memanfaatkan celah-celah peraturan untuk korupsi. Pejabat yang tidak paham Undang-undang itu sangat jarang. “Itu ironis dan tragis, kalau ada orang bodoh diangkat jadi pejabat,” kata pengamat sosial dan sosiolog UIN Jakarta Abas Jauhari MA seperti dilansir inilah.com.
Dalam pidato peringatan puncak Hari Antikorupsi dan Hari HAM Sedunia di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/12), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, bakal kembali mengumpulkan jajaran pemerintah, khususnya pejabat yang menyusun dan mengelola anggaran pada Januari 2013. Tujuannya ialah untuk diberikan penjelasan berbagai hal mengenai tindak pidana korupsi.
Negara memang wajib menyelamatkan mereka-mereka yang tidak punya niat melakukan korupsi, tetapi bila salah dalam mengemban tugasnya, maka perlu diproses hukum sebagai pembelajaran dan hikmah. Kadang-kadang, kata SBY, diperlukan kecepatan pengambilan keputusan dan memerlukan kebijakan yang cepat. “Jangan dia dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi,” kata Presiden SBY.
Para analis mengingatkan, Presiden SBY jangan mau dijadikan ‘bebek lumpuh’ oleh para koruptor yang berwatak oportunis dan sistemis. Lihatlah para koruptor ini, mereka disukai dan dihormati para petugas penjara dan kepala Lapasnya karena menjadi sumber ‘revenue’ tambahan.
Sementara para koruptor tetap tampil glamor di depan publik, mengenakan berbagai aksesoris mewah, meski statusnya telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Mulai dari cincin, ikat pinggang, hingga tas tangan.
Dalam upaya memperingati Hari Antikorupsi Sedunia pekan ini, SBY harus ingat bahwa sebanyak 1.408 kasus korupsi yang ditangani aparat hukum selama 2004-2011 menjadi bukti dampak buruk korupsi. Nilai kerugian negara mencapai Rp39,3 triliun. Anggaran sebesar itu bisa untuk membangun, misalnya, 393.000 rumah sederhana atau memberikan bantuan modal usaha untuk 3,9 juta sarjana baru.
“Korupsi adalah kejahatan luar biasa dan harus dibasmi dengan kebijakan, tekad, organisasi dan sumber daya manusia yang luar biasa pula,” kata Prof Ahmad Syafii Maarif.
Para analis memprediksi, korupsi akan terus merajalela tahun depan, menjelang pemilu, dalam bentuk aneka ragam perbuatan yang terkutuk. Korupsi adalah musuh publik, SBY harus memihak publik dan menindak koruptor dengan efek jera, bukan malah ‘membela’ secara moral dengan argumentasi ‘tidak paham UU dan peraturan’ sebab itu bakal dijadikan amunisi koruptor untuk berlindung atau menghindar dari jeratan hukuman.
”Korupsi sudah menggurita. Masyarakat harus mendorong SBY untuk mencegah secara sistemik dan menindaknya bagi para aktor korupsi secara sistemik pula,” kata analis politik Yudi Latif PhD dari Reform Institute. (bilal/arrahmah.com)