Amma Ba’du
Maásyiral Muslimin Rahimakumullah
Alhamdulillah, segala ungkapan puji dan syukur hanya ditujukan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah menunjukkan kepada manusia jalan hidup yang lurus untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.
Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam yang dengan perantaraan beliau, Allah sebarkan rahmat dan karunia-Nya. Allah Malikur Rahman telah merekomendasikan beliau menjadi tauladan hidup, bagaimana menjalani kehidupan di muka bumi dengan benar dan berfaedah. Sehingga segala ucapan, perbuatan serta akhlak beliau menjadi tauladan amal shalih untuk menelusuri jalan lurus menuju keridhaan Allah Swt.
Maka marilah kita bertakwa kepada Allah agar kita menjadi manusia mulia dan bermartabat, sebagaimana firman Allah di dalam Al-Qurán:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sungguh Kami ciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling memahami. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Mahaluas ilmu-Nya.” (QS Al-Hujurat (49) : 13)
Ayat ini menginformasikan, bahwa manusia berasal dari satu keturunan yang sama yaitu Nabi Adam dan Hawa. Keragaman adalah sunnatullah karena Allah SWT menjadikan manusia berkembang sedemikan banyak, menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, serta beragam etnis. Keragaman bukan untuk berpecah belah dan saling memusuhi, melainkan untuk saling mengenal.
Seluruh manusia setara di hadapan Allah SWT. Pembedanya adalah tingkat ketakwaannya. Standar kemuliaan di sisi Allah bukan dilihat dari kekerabatan dan jabatan, bukan pula dilihat dari sisi kekayaan maupun elektabilitas politik. Kemuliaan juga bukan dilihat dari siapa orang tuanya, dari golongan mana dia berasal, tapi manusia paling mulia di sisi Allah SWT adalah mereka yang paling bertakwa.
Kriteria Capres-Cawapres
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Dalam satu bulan ke depan bangsa Indonesia, insya Allah akan melangsungkan gelar pesta politik pemilu. Lebih dari 200 juta pemilih di dalam negeri dan 1,75 juta diaspora Indonesia di seluruh dunia akan mendatangi tempat pemungutan suara pada 14 Februari 2024 guna memilih presiden dan wakil presiden untuk lima tahun ke depan. Pemilihan legislatif juga akan digelar bersamaan pada hari yang sama.
Saat inilah momentum krusial bagi rakyat Indonesia, untuk menentukan pilihannya, siapakah yang pantas menjadi presiden dan wakil presiden RI, dipandang dari kapasitas, integritas, gagasan, rekam jejak serta prilakunya. Sebagai warga negara maupun umat beragama, parameter paling relevan untuk menentukan siapa yang pantas dan tidak pantas jadi kepala negara, tidak cukup hanya menggunakan kaidah like and dislike -suka atau tidak suka, tetapi haruslah berpedoman pada konstitusi dan arahan kitab suci.
Dalam Pasal 169 UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 telah diatur tentang syarat-syarat calon Presiden dan calon Wakil Presiden, yang juga berlaku sebagai syarat Capres/Cawapres 2024. Dalam UU tersebut terdapat 20 kriteria syarat Capres/Cawapres. Disamping syarat lainnya, syarat pertama dan paling utama adalah “Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa”.
Tidak ada penjelasan dalam UU Pemilu, tentang makna takwa maupun karakteristik orang yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun kitab Suci Al-Qurán menjelaskannya. Bahwa karakteristik orang yang bertakwa, menurut Al-Qurán surat Al-Baqarah ayat 2 – 5 antara lain: menjadikan Al-Qurán sebagai pedoman hidup, beriman kepada yang ghaib, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, meyakini adanya kehidupan akhirat.
Allah Swt berfirman:
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ
وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ
اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Itulah Al-Qur’an yang tidak diragukan datangnya benar-benar dari Allah, menjadi petunjuk bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan bertauhid, (QS Al-Baqarah (2) : 2) yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan shalat, dan mengeluarkan zakat dari harta yang Kami karuniakan kepada mereka, (QS Al-Baqarah (2): 3) dan orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad dan kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelum Muhammad, serta mereka meyakini adanya hari akhirat. (QS Al-Baqarah (2): 4) Mereka itulah orang-orang yang mengikuti Islam, agama yang datang dari Tuhannya; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung di akhirat.
Sekalipun Negara RI sering distigma sebagai “bukan negara agama dan bukan negara sekuler” tetapi ketika menentukan kriteria Capres dan Cawapres menggunakan konsep agama. Dalam hal ini, nampak harmoni antara konstitusi RI dan kitab suci Al-Qurán, khususnya dalam menetapkan kriteria fundamental bagi seseorang yang berhak memegang jabatan Presiden atau Kepala Negara di negeri yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini.
Konsekuensi logisnya, seorang presiden terpilih yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mendapat amanah dari Allah Swt, sebagaimana firman-Nya:
الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“Orang-orang mukmin adalah orang-orang yang ketika Kami beri kekuasaan di muka bumi, mereka melaksanakan shalat, membayar zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Di akhirat kelak, hanya Allah-lah pemberi balasan atas semua amal manusia.” (Q.s. Al-Hajj [22]: 41)
Inilah pesan Al-Qur’an kepada para penguasa negara. Ayat ini secara spesifik mengingatkan kepada penguasa muslim, yang mendapat amanah kekuasaan mengelola pemerintahan negara, agar mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, serta menyuruh anggota masyarakatnya agar berbuat yang ma’ruf serta mencegah dari yang munkar. Penguasa berkewajiban memfasilitasi rakyatnya untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, adil, makmur, dan sejahtera.
Implementasi Takwa, dalam pengertian melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya, akan berdampak positif pada hubungan sosial, untuk menciptakan masyarakat yang harmonis. Karena pola hidup takwa tidak hanya menciptakan individu yang baik, tetapi juga masyarakat yang baik, yang merupakan kunci bagi tumbuh kembangnya masyarakat yang adil dan beradab.
Hanya pemimpin yang bertakwa dan melaksanakan syariat Islam yang akan mendapat bimbingan Allah untuk merubah Indonesia menjadi lebih baik, adil dan makmur, sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana termaktub dalam sila ke-5 pancasila, tidak hanya slogan kosong tanpa makna.
Maásyiral Muslimin Rahimakumullah
Syarat bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi seorang calon presiden dan wakilnya, sebagaima yang tercantum dalam Pasal 169 UU No. 7 tahun 2017 itu, menjadi semakin urgen mengingat dampak bahaya yang akan disesali di kehidupan akhirat nanti.
Allah Swt berfirman:
يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ اُنَاسٍۢ بِاِمَامِهِمْۚ فَمَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِيَمِيْنِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ يَقْرَءُوْنَ كِتٰبَهُمْ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا
“Ingatlah, pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya; dan barang siapa diberikan catatan amalnya di tangan kanannya mereka akan membaca catatannya (dengan baik), dan mereka tidak akan dirugikan sedikit pun.” (Qs. Al Isra’ [17]: 71)
Dalam Tafsir Al-Mukhtashar di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram, yang dimaksud dengan kalimat “Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya,” adalah setiap kelompok umat dengan pemimpin yang mereka ikuti ketika di dunia ini.
Tentu saja kita menginginkan, kelak berombongan masuk surga bersama pemimpin yang shalih dan bertakwa. Bukan digelandang masuk neraka bersama pemimpin yang durhaka dan tak peduli agama.
وَسِيقَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ إِلَىٰ جَهَنَّمَ زُمَرًا
Orang-orang kafir dihalau ke neraka Jahannam berombong-rombongan.
وَسِيقَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ رَبَّهُمْ إِلَى ٱلْجَنَّةِ زُمَرًا ۖ
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan diantar ke dalam surga berombong-rombongan (pula).
Maka hendaklah cermat menentukan pilihan, siapa yang pantas untuk memegang tampuk kekuasaan di negara RI, dipandang dari sisi kapasitas, integritas, ucapan, dan prilakunya. Sandingkan dan bandingkan di antara para kandidat Capres dan Cawapres yang tersedia, siapakah diantara mereka yang sanad perjuangan dan ideologinya paling dekat dengan karakteristik orang-orang yang bertakwa kepada Allah Swt.
Sekiranya ada yang tidak memihak pada pemimpin yang bertakwa kepada Allah, janganlah andil menanam saham untuk memenangkan kandidat yang durhaka pada Allah. Imam Asy-Syafii mengatakan, “Jangan kamu cintai orang yang tidak mencintai Allah. Jika Allah saja ditinggalkan, apalagi kamu”.
Semoga Allah Swt berkenan melahirkan kesadaran yang merata di hati rakyat Indobesia, sehingga mayoritas anak bangsa benar-benar ikut berkontribusi menghadirkan pemimpin yang bertakwa pada Pilpres 2024, bukan yang durhaka pada Allah. Memilih kandidat yang jujur dan amanah, bukan calon pemimpin pembohong, yang suka maksiat, tidak shalat, tidak puasa, tidak mengeluarkan zakat, dan bukan pula penerus dinasti oligarki.
Yogyakarta
IRFAN S. AWWAS