JAKARTA (Arrahmah.com) – Terkait misi Kristen dalam Car Free Day (CFD), Abu Dedat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menegaskan tidaklah dibenarkan, karena bisa memicu konflik horizontal di masyarakat. Hal ini dikekumakan pada diskusi bertemakan “Menyoal Toleransi dan Intoleransi Beragama di Indonesia” yang digagas oleh Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam di Cikini, Jakarta Pusat.
Menurutnya, seperti dilaporkan pusat informasi PAHAM kepada redaksi, ini membuktikan sikap intoleransi yang dipertontonkan minoritas terhadap mayoritas menjadi akar dari ketidak harmonisan kerukunan umat beragama. Namun sayangnya, lanjut Abu Dedat, aparatur penegak hukum kita bungkam seribu bahasa.
Dia juga menyoroti keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang sangat lemah dalam menyikapi kejadian-kejadian seperti CFD tersebut.
Sementara itu Direktur Eksekutif Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia yang hadir sebagai pembicara dalam kesempatan itu Nasrulloh Nasution menanggapi serius aksi Kristenisasi tersebut.
“Kami sangat menyesalkan sekali atas kejadian CFD ini adalah upaya penyiaran agama kepada orang yang sudah beragama, padahal sudah lama kita membina kerukunan antara umat beragama di Indonesia, tindakan ini sangat menciderai toleransi yang selama ini dibina umat beragama,” jelasnya.
Nasrulloh melanjutkan, bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan anugerah Tuhan yang tidak boleh dipaksakan. “Ini sesuai dengan Undang-undang yang kita anut tentang Hak Asasi Manusia,” katanya.
Jangan sampai toleransi yang selama ini dibangun rusak akibat segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. “Kami meminta pihak terkait untuk menyelesaikan permasalahan ini,” tegasnya.
“Apabila dilakukan oleh kelompok organisasi, kami minta pertanggung jawabannya dan harus diselesaikan segera sesuai dengan aturan yang ada. Padahal sudah jelas regulasinya sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama disamping itu ia menegaskan apabila korbanya adalah anak-anak maka dapat dikenakan atas tindak pidana anak sebagaimana di atur dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 dimana dalam Pasal 86 dikatakan ancaman hukumanya adalah 5 (lima) tahun dan/atau denda seratus juta rupiah,” tutup Nasrulloh yang juga sebagai advokat. (azm/arrahmah.com)