Krisis penyanderaan 23 sandera asal Korea Selatan oleh Mujahidin Afghanistan nampaknya belum akan berakhir. Informasi terbaru yang dirilis oleh Irib (Islamic Republic of Iran Broadcasting) menyatakan bahwa Taliban mengusulkan sejumlah sandera perempuan asal Korea Selatan tersebut supaya ditukar dengan tahanan perempuan pendukung kelompok ini. Adalah Qari Yusuf Ahmadi, Juru Bicara Taliban yang menyampaikan hal tersebut dari Kabul (7/8/2007) sebagaimana Kantor Berita AFP melaporkan.
Sebelumnya, Taliban telah mengeksekusi satu dari 23 sanderanya, seorang laki-laki, untuk membuktikan bahwa mereka tidak main-main dalam masalah ini. Dengan demikian, sudah dua sandera yang mengalami nasib naas sejak mereka ditawan seminggu yang lalu. Sandera yang pertama kali dieksekusi adalah Pastur Bae Hyung Kyu, 42 tahun dan merupakan kepala rombongan. Kemudian menyusul sandera bernama Sung Sin, dengan senjata AK-47. Reutres melansir peryataan Juru Bicara Taliban yang mengatakan, “Kami menembak mati seorang sandera pria karena pemerintah tidak mendengarkan tuntutan kami.”
Dari Camp David, Maryland, AS, Senin (6/8/2007) waktu setempat, Bush dan Karzai sepakat tak akan memberi konsesi kepada Taliban untuk membebaskan 21 warga Korsel yang masih disandera. Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Gordon Johndroe, mengungkapkan pertemuan pertemuan dua hari sejak Ahad (5/8/2007) itu antara lain membicarakan masalah pembebasan sandera warga Korsel. Keduanya, Bush dan Karzai sepakat tak memenuhi tuntutan Taliban melakukan pertukaran tahanan. (Republika, 8/8/2007)
Sementara itu, kedubes Korea Selatan di Afghanistan menolak berkomentar atas kasus ini. Pemerintahan ‘boneka’ Afghanistan pimpinan Hamid Karzai sendiri nampak tidak bisa berbuat apa-apa dengan diabaikannya tuntutan Taliban dan selalu berakhirnya tenggat waktu yang diberikan Taliban. Sebagaimana dilansir Kantor Berita AFP, Jubir Taliban, Qari Yusuf Ahmadi mengatakan, “Kami sudah memberikan beberapa kali batas waktu yang kami berikan.”
Televisi Al Jazeera telah menayangkan video yang memperlihatkan sejumlah sandera perempuan yang mengenakan kerudung, sementara di belakang mereka terlihat sejumlah laki-laki berdiri yang diduga para pejuang Taliban. Rekaman video itu dikirim dari luar Afghanistan, kapan dan di mana video itu dibuat, masih belum bisa diverifikasi. Seperti apakah akhir cerita drama penyanderaan 21 sandera asal Korsel itu ?
Harga Mati Untuk Misionaris
Siapakah sejatinya 23 sandera asal Korsel tersebut ? Sejumlah harian di Perancis mengungkapkan bahwa 23 warga Korsel tersebut bukanlah turis yang sedang dalam perjalanan dari Kabul menuju Kandahar dan kemudian ditangkap di Ghazni pada 19 Juli lalu. Mereka adalah misionaris yang merupakan bagian dari 16.000 misionaris Protestan Korsel yang bertebaran di 170 negara di seluruh dunia, yang kebanyakan negara-negara berpenduduk Muslim, sebagaimana diungkap Harian ‘Le Prasion’. Masih menurut Le Prasion gereja di Korsel sepanjang musim panas tahun 2006 lalu berhasil mengirimkan 2000 penginjil ke ibukota Afghanistan, Kabul melalui visa turis.
Sementara itu, harian ‘Lopegaro’ yang terbit di Perancis juga mengatakan, para misionaris itu atau paling tidak gereja-gereja spesialis pengembangan misonaris di bumi yang berpenduduk mayoritas Muslim, baik di Asia maupun Timur Tengah telah diperingatkan akan akibat fatal dari praktik misi yang mengatasnamakan agama atau pun kemanusiaan di Afghanistan. Harian itu juga menyebutkan jumlah misionaris Korsel merupakan yang paling banyak di dunia setelah jumlah misionaris AS (4.600 orang), sembari menyiratkan pula bahwa mereka satu sama lain saling berbagi informasi soal karakter dan target.
Jadi, bisa dikatakan 23 misionaris asal Korsel yang saat ini (21 orang) disandera Mujahidin Afghanistan adalah misionaris ‘nekat’. Kini, mereka harus menanggung ‘kenekatan’ yang mereka lakukan sambil menunggu ‘negoisasi’ alot antara Mujahidin Taliban dengan Korsel di satu sisi dibantu Bush dan Karzai.
Sikap Mujahidin Taliban sendiri terhadap aktivitas misonaris di bumi jihad Afghanistan sangatlah jelas dan sudah merupakan harga mati. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh orang kepercayaan Mullah Muhammad Umar (pemimpin Taliban), Syekh Husain Ibnu Mahmud. Menurut beliau dalam buku The Giant Man (biografi Mullah Muhammad Umar) “Taliban melarang gerakan misionaris di Afghanistan. Setiap gerakan misionaris dianggap musuh Islam sesuai perintah syariat.
Dengan demikian salah alamat kalau dikatakan Taliban menculik 23 misionaris tersebut dan tindakan itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ajaran Islam, dan bahkan merusak citra Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Din Syamsuddin ketika ditemui Dubes Korsel untuk Indonesia, Lee Sun Jin, di Jakarta Rabu sebagaimana dirilis Hidayatullah.com. Kelihatannya Taliban hanya menjalankan perintah syari’at yang harus diberlakukan terhadap misionaris di bumi Islam tersebut. Apalagi semenjak Taliban memerintah Afghanistan, mereka telah menyebarkan keamanan lewat pemerintahannya. Mereka memerintah dengan penerapan syariat Islam dan membawa kembali umat Islam pada kenangan ketika mereka di bawah naungan Daulah Khilafah. Hari-hari dimana hukuman dijalankan sesuai syariat dan masyarakat terlindungi dengan kehidupan Islam yang mulia.
Sementara itu PBNU bermaksud menggandeng Taliban untuk membahas penyanderaan warga Korsel. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum KH Hasyim Muzadi di Jakarta, Ahad (5/8/2007), “”PBNU dengan sungguh-sungguh sedang mengatur langkah untuk menyampaikan undangan ke salah seorang ulama Taliban agar berkesempatan datang ke Indonesia, ”
Usulan dari PBNU ini lebih masuk ‘akal’ mengingat Indonesia masih ‘dipandang’ sebagai negara dengan komunitas muslim terbesar di dunia. Permohonan pembebasan sandera dengan cara ‘menjual’ nama muslim terbesar di dunia terbukti berhasil ketika reporter Metro TV, Mutia Hafidz dan kawannya akhirnya dibebaskan oleh Mujahidin Irak. Pertanyaannya kemudian, apakah cara ini juga akan berhasil untuk pembebasan misionaris Korsel tersebut dari tangan Mujahidin Taliban ?
Mullah Muhammad Umar, No Compromise
Hal yang perlu diingat dalam drama penyanderaan 23 misionaris Korsel ini adalah sosok mujahid Taliban, sekaligus pemimpin Taliban. Mullah Muhammad Umar. Lelaki unik ini, yang lebih memilih gua-gua menggantikan kastil megah terkenal tegas dalam bernegoisasi bahkan terkesan No Compromise.
Juru Bicara Taliban, secara tersirat menyatakan bahwa keputusan untuk negoisasi masalah penyanderaan ini berada langsung di bawah kendali Mullah Muhammad Umar, sebagaimana ungkapannya “Keputusan berada di dewan pimpinan Taliban”. Siapa lagi kalau bukan Mullah Muhammad Umar sendiri. Dalam kasus ‘terberat’ yang dialami Mullah Umar, yakni ketika AS memaksanya untuk menyerahkan Syekh Usamah Ibnu Ladin ke Mahkamah Amerika, Mullah Umar , dengan keteguhan dan keahlian politiknya, berdiri tegar menolak permintaan Amerika karena telah mengetahui kepentingan tersembunyi Amerika dan Yahudi, yang tidak ditutup-tutupi telah terdapat pada kitab dan Sunnah Rasulullah SAW. Bahkan dia mengumumkan kepada Syekh Usamah ibnu Ladin dan seluruh dunia dengan ketulusan jiwa dan kekuatan imannya, bahwa “Jika tidak ada lagi yang tertinggal di Afghanistan kecuali darahku, aku akan melindungi Usamah ibnu Ladin dan mujahidin Arab dan aku tidak akan pernah menyerahkan mereka.”
Jadi, sikap keras dan ancaman Bush dan Karzai untuk tidak memberi konsesi apapun kepada Taliban untuk membebaskan 21 misionaris Korsel itu akan sia-sia. Taliban dengan instruksi dari Mullah Umar pun tidak akan bergeming sedikit pun dari ‘pacuan’ dan politik ‘saling gertak’ ini. Bahkan AS, secara brutal dan pengecut telah menyerang Afghanistan dengan misil mereka dan membunuh 260 rakyat Afghanistan dan melukai 88 orang lainnya yang tidak berdosa pada Selasa, 7 Agustus 2007 pada pukul 4.30 pm di distrik Baghran Propinsi Helmad, sebagaimana yang dilaporkan Imarat Islami of Afghanistan, Media milik Emirat Islam Afghanistan. Serangan biadab tapi pengecut ini tentu saja untuk menakut-nakuti Taliban agar mereka membebaskan para sandera, misionaris Korsel tersebut.
Tapi, Mullah Muhammad Umar bukanlah seorang pengecut, bahkan sebaliknya. Bukan sesuatu yang ‘berat’ bagi Taliban untuk mengeksekusi ke 21 misionaris Korsel tersebut yang secara hukum syari’ah memang terlarang keberadaannya di Afghanistan. Bahkan Taliban atas instruksi Mullah Muhammad Umar masih menginginkan pertukaran sejumlah sandera misionaris perempuan Korsel dengan para muslimah yang dipenjara di Kabul dan Baghram sebagai bagian dari dakwah dan membela kehormatan Islam dan kemuliaan Islam. Kalau tawaran ‘sebaik’ ini tidak diindahkan juga oleh Bush dan Karzai, maka Taliban pun tidak akan mundur, hingga tidak ada lagi negoisasi. Jadi, bisa dikatakan drama penyanderaan misonaris Korsel ini adalah ajang uji nyali antara Mullah Muhammad Umar dan Taliban di satu sisi dengan Bush dan Karzai di sisi lainnya. Siapakah yang lebih bernyali ? Kita tunggu saja, Walahu’alam bis showab!