Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.*
(Arrahmah.com) – Konflik horisontal yang terjadi antara kaum Ahlussunnah wal Jamaah dengan Syi’ah memerlukan jaminan stabilitas dan ketertiban oleh lembaga penegak hukum. Penodaan atau penistaan terhadap sahabat dan isteri Nabi Muhammad SAW – sebagai salah satu bentuk penyimpangan ajaran pokok agama – menjadi salah satu perbuatan yang harus dihindari di bawah ancaman sanksi pidana. Larangan ini ditujukan untuk memelihara dan menjaga penghormatan terhadap sahabat dan isteri Nabi Muhammad SAW sebagaimana telah menjadi keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai komunitas terbesar di Indonesia. Adapun sanksi di sini dimaksudkan untuk menjaga ketertiban dan ketentraman di masyarakat. Sanksi pidana mengendalikan perilaku seseorang supaya tidak melakukan penyimpangan dalam ajaran pokok agama.
Berbagai perkembangan konflik antara Sunni dengan Syi’ah tidak bisa dilihat hanya dengan pendekatan keagamaan belaka, namun juga harus dengan pendekatan Ketahanan Nasional dengan Kewaspadaan Nasional sebagai pilar utama. Kewaspadaan Nasional sebagai kualitas kesiapan dan kesiagaan yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk mampu mendeteksi, mengantisipasi sejak dini dan melakukan aksi pencegahan berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman terhadap NKRI. Ancaman terhadap ajaran pokok agama adalah juga ancaman terhadap Negara secara keseluruhan. Kewaspadaan Nasional adalah juga sebagai manifestasi kepedulian dan rasa tanggung jawab bangsa Indonesia terhadap keselamatan dan keutuhan NKRI. Oleh karena itu Kewaspadaan Nasional harus bertolak dari keyakinan ideologis dan nasionalisme yang kokoh serta perlu didukung oleh pemantauan sejak dini dan terus menerus terhadap implikasi dari situasi serta kondisi yang berkembang baik di dalam negeri maupun luar negeri. Jika mengacu dengan pendekatan Kewaspadaan Nasional dalam mendekati masalah, maka ekspansi ideologi Syi’ah Iran yang mengusung imamah selain bertentangan dengan ideologi Pancasila adalah juga melemahkan rasa, paham dan semangat nasionalisme bangsa Indonesia.
Lebih lanjut, suatu ideologi yang dihasilkan dari penyimpangan ajaran pokok agama, maka penekannya bukan terhadap ideologinya, melainkan terhadap ajaran keagamaan yang menyimpang. Adapun penodaan atau penistaan lebih bersifat resultan dari keyakinan ideologi dan keagamaan seseorang. Jika dipetakan ke dalam bentuk klasifikasi tingkatan tindak pidana (primer-subsider), maka penyimpangan ajaran pokok agama dalam bentuk penguatan ideologi yang mengancam eksistensi Negara adalah termasuk tindak pidana primer, sedangkan penodaan/penistaan termasuk tindak pidana subsider. Penyimpangan ajaran pokok agama yang melahirkan konflik horisontal (das sein) antara kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dengan Syi’ah memerlukan das solen. Konflik tersebut merupakan kenyataan alamiah atau peristiwa konkret (das sein), namun demikian memerlukan kenyataan normatif atau apa yang seyogyanya dilakukan (das solen). Dalam hukum, yang terpenting bukanlah apa yang terjadi melainkan apa yang seharusnya terjadi. Oleh karena kaidah hukum bersifat memerintah, mengharuskan atau preskriptif, maka diperlukan suatu pengaturan normatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Perlu penulis sampaikan bahwa penguatan ekspansi ideologi Syi’ah Iran sangat mengganggu Ketahanan Nasional. Kepentingan atau kemaslahatan umum akan terganggu dan dampaknya menimbulkan kondisi yang negatif. Apabila dipetakan, ekspansi ideologi Syi’ah Iran mengancam kemaslahatan umum (al-Maqashid Syariah), dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel : Ancaman Penguatan Ekspansi Ideologi Syi’ah Iran
MAQASHID SYARIAH |
ANCAMAN IDEOLOGI SYI’AH IRAN |
DAMPAK NEGATIF
|
Agama |
1. Penyimpangan ajaran pokok agama Islam (aqidah & syariyah). 2. Penodaan dan penistaan terhadap simbol-simbol kalangan Sunni. |
1. Peningkatan rasa kebencian dan permusuhan kepada kalangan Syi’ah. 2. Peningkatan konflik horisontal di masyarakat (konflik Sunni-Syiah) |
Akal |
1. Proses indoktrinisasi membentuk keyakinan menyimpang. 2. Menjadikan pengikutnya berpaham ideologi imamah. Melemahkan rasa nasionalisme dan ancaman terhadap eksistensi ideologi Pancasila. |
1. Berpotensi melahirkan gerakan perlawanan kepada kalangan yang tidak sepaham. 2. Berpotensi mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara dimasa yang akan datang. |
Jiwa |
1. Tidak kondusifnya keamanan di masyarakat. 2. Meningginya ancaman intimidasi.
|
1. Menimbulkan bentrokan fisik antara Sunni dengan Syi’ah. 2. Berpotensi menimbulkan korban jiwa yang lebih besar lagi. |
Harta |
1. Aksi pemusnahan tempat tinggal dan tempat usaha dan hilangnya harta benda korban. 2. Kewajiban pembayaran khumus kepada penganut Syi’ah.
|
1. Peningkatan kemiskinan bagi pengikut Syi’ah di level bawah serta gangguan mental (trauma). 2. Penyalahgunaan penggunaan khumus, salah satunya untuk kepentingan Syiahisasi. |
Keturunan |
1. Semakin menguatnya praktek nikah mut’ah. 2. Peningkatan perilaku seks bebas di kalangan remaja.
|
1. Lemahnya akhlak dan moral bangsa. 2. Status anak yang dilahirkan tidak mendapatkan pengakuan secara sah (baik agama maupun Negara). 3. Anak yang dilahirkan kehilangan pengakuan di masyarakat. |
Kemaslahatan umum dalam perspektif al-Maqashid Syariah tercipta dengan adanya suatu kondisi yang stabil (ketentraman dan ketertiban). Dengan demikian, maka perlu diwujudkan Keamanan Nasional yang kuat dalam suatu Negara. Dengan mengacu kepada prinsip ini, maka Keamanan Nasional yang kuat akan memberikan implikasi positif bagi Ketahanan Nasional.
Dalam rangka membangun politik hukum sistem Ketahanan Nasional yang tangguh terhadap ekspansi ideologi transnasional Syi’ah Iran, maka peranan al-Maqashid Syariah sangat dibutuhkan dalam merumuskan kriminalisasi. Dalam proses kriminalisasi sebagai bagian dari politik hukum pidana, memerlukan penerimaan asas-asas hukum Islam (al-Maqashid Syariah) sebagai dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian teori al-Maqashid Syariah dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan tentang Keamanan Nasional yang mencakup perlindungan terhadap ajaran pokok agama Islam dan ideologi Negara menjadi aktual dan penting. Urgensi itu didasarkan pada tiga aspek yang terkait satu dengan lainnya, kesemuanya bersumber dari rumusan al-Maqashid Syariah itu sendiri. Aspek pertama, menyangkut eksistensi ajaran agama itu sendiri, aspek kedua, menyangkut individu yang hendak dilindungi, hal ini menyangkut: akal, keturunan, harta dan jiwa. Sedangkan aspek ketiga, terkait kewajiban Negara dalam memberikan jaminan perlindungan atas kelima unsur dalam al-Maqashid Syariah. Dua identitas yang memerlukan perlindungan, yakni agama dan individu sebagai penganut agama di satu sisi, sedangkan di sisi lain adalah Negara yang berperan dalam memberikan perlindungan baik terhadap agama dan individu-individunya. Penerapan al-Maqashid Syariah dalam politik hukum merupakan manifestasi perlindungan terhadap kemurnian ajaran pokok agama, dan perlindungan terhadap ideologi Negara serta menunjang terwujudnya sistem Ketahanan Nasional yang kokoh dalam rangka pencapaian kepentingan nasional. Bangsa yang memiliki tingkat Ketahanan Nasional yang tinggi akan mampu menanggulangi segala tantangan, ancaman, hambatan maupun gangguan yang dihadapkan kepadanya.
Dengan demikian, kepentingan agama perlu memperoleh jaminan perlindungan hukum, sehingga tidak dilakukan perbuatan-perbuatan yang menyerang atau merugikannya. Kebijakan penanggulangannya juga perlu menyesuaikan dengan perkembangan tipe kejahatan. Untuk kepentingan ini, maka politik penegakan hukum sangat berperan dalam membentuk politik kriminal. Dalam politik kriminal, kriminalisasi merupakan hal yang esensial. Kriminalisasi menunjuk kepada difungsikannya hukum pidana dalam pengaturan perlindungan ajaran pokok agama dari penyimpangan dan/atau penyalahgunaan agama termasuk resultannya berupa penodaan dan penistaan. Jadi, tolok ukur kriminalisasi terhadap suatu ideologi-teologi yang bertentangan dengan Pancasila dan ajaran pokok Islam, seperti Syi’ah Iran, ukurannya adalah rumusan al-Maqashid Syariah. Terganggu dan terancamnya kemaslahatan umum adalah juga terganggu dan terancamnya Ketahanan Nasional. Dengan demikian, perihal kriminalisasi terhadap ekspansi ideologi transnasional perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Mengenai tindak pidana terhadap kepentingan agama berhubungan dengan dasar Negara Pancasila dan UUD 1945 yang menempatkan agama sebagai hal yang penting, dan menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Sila yang pertama, maka dapat dibenarkan pembentukan delik-delik agama yang perlu mendapat perhatian khusus untuk diberikan prioritas atas dasar religionsschutz theorie (yaitu teori yang memandang agama itu an sich sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi atau diamankan oleh Negara). Penulis berpendapat, religionsschutz theorie adalah yang paling tepat untuk diterima dalam kaitannya dengan konteks penyimpangan ajaran pokok agama, terlebih lagi dalam kasus Syi’ah Iran. Ancaman Syi’ah Iran tidak hanya ditujukan kepada ajaran pokok agama tetapi juga terkait dengan eksistensi NKRI. Kedua ancaman tersebut sangat relevan dengan teori yang memandang agama itu an sich sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi atau diamankan oleh Negara. Imam al-Ghazali rmh berbicara tentang Tata Negara Islam, dikatakan bahwa “agama adalah fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa yang tidak ada fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti akan hilang.” Sesuai dengan paradigma simbiotik yang dianut oleh Indonesia, Negara memliliki legitimasi untuk melindungi ajaran pokok agama Islam dari segala penyimpangan dan penodaan, termasuk eskpansi ideologi transnasional Syi’ah Iran.
*Penulis adalah : Anggota Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat, Divisi Pengkajian & Fatwa MIUMI DKI Jakarta, Pendiri & Pengkaji Ahli LKS Al-Maqashid Syariah, Penulis Buku : Syiah Menurut Sumber Syiah, Ancaman Nyata NKRI.
(*/arrahmah.com)