JAKARTA (Arrahmah.com) – Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) menegaskan kasus yang membelit dirinya merupakan upaya penghancuran KPK dan juga pembunuhan karakter (Character Assasination) terhadap pimpinan KPK.
“Banyak pernyataan yang menyesatkan dibangun secara sistematis untuk menghancurkan KPK dan juga ‘Character Assasination’ kepada pimpinan KPK,” kata Bambang di kediamannya Kampung Bojong Lio, Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu (24/1/2015), tulis hukumonline.com
Bareskrim Mabes Polri menetapkan BW sebagai tersangka kasus dugaan menyuruh atau mengarahkan memberikan kesaksian palsu.
Dia mengatakan pasal yang digunakan terhadap kasus dirinya yaitu Pasal 242 KUHP kualifikasi deliknya ada ayat 1, 2, dan 3.
Sebagai seorang penyidik juga kualifikasi itu tidak cukup lengkap harus ada penjelasan ayat 1 itu soal perdata, ayat 2 soal pidana.
“Kalau kasus saya ini masuk mana, kalau di Mahkamah Konstitusi itu termasuk perdata atau pidana,” tanyanya.
BW menjelaskan apakah dirinya memberikan keterangan palsu karena statusnya sebagai “lawyer”.
“Namun kalau mengarahkan memberikan keterangan palsu maka inilah yang akan diuji,” katanya.
Kasus dirinya merupakan kasus lama dan sepengetahuannya, seperti yang juga diungkapkan oleh mantan Menkum-HAM Amir Syamsudin yang telah menjalani profesi “lawyer” lebih dari 50 tahun tidak pernah mendapatkan kasus seperti ini.
Karena, lanjut dia kasus tersebut harus ada putusan pengadilan yang menyatakan sumpah palsu sehingga bagaimana mungkin hakim dalam sidang tidak pernah menyatakan adanya sumpah paslu, tapi orang lain menyatakan adanya sumpah palsu.
“Pernyataan-pernyataan seperti ini menyesatkan yang dibangun secara sistematis memang untuk membangun ‘Character Assasination’ pimpinan KPK dan semakin kuat penghancuran terhadap KPK,” katanya.
Dia mengatakan seperti yang diungkapkan Bambang Harimurti bahwa dirinya pernaha dijerat dengan pasal 242 tetapi sudah 10 tahun belum juga berjalan.
Presiden perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang mengatur pemberian hak imunitas bagi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, kata pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar.
“Perppu kami harapkan bisa dikeluarkan Presiden untuk memberikan hak imunitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk pekerja pemberantasan korupsi lainnya di Indonesia,” kata Zainal di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ahad (25/1/2015), dikutip dari hukumonline.com.
Perlakuan hukum khusus, kata dia, sudah selayaknya diberikan kepada pekerja pemberantasan korupsi, terutama KPK.
Sebab, ia menilai dalam bidang kerjanya mereka rentan dijegal dengan berbagai upaya kriminalisasi oleh pihak yang merasa terancam dengan kinerja mereka dalam memberantas korupsi.
Menurut dia, perlakuan terhadap pegawai maupun komisioner KPK selayaknya sama dengan Ombudsman RI, di mana sesuai Undang-undang Ombudsman, pekerjaan mereka tidak dapat digugat dan ditahan di depan pengadilan.
Selain itu, dia membandingkan, dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC) pasal 37 ayat 3 dikemukakan bahwa negara harus mempertimbangkan upaya “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan hukum (justice collaborator). Apalagi terhadap pekerja pemberantas korupsinya, menurut dia, justru patut mendapatkan perlakuan hukum khusus.
Kendati demikian, lanjut Zainal, Perppu yang mengatur hak imunitas tersebut dapat dikecualikan apabila para pihak yang dimaksudkan terbukti melakukan kejahatan dalam operasi tangkap tangan.
“Ya kalau sudah tangkap tangan, berarti sudah nyata-nyata kejahatnnya,” kata dia.
Menurut Zainal, sejarah konflik antara Kepolisian dan KPK sudah sekian kali terjadi, sehingga diharapkan peristiwa yang berulang tersebut dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang tepat.
“Ini kan ‘cicak vs buaya’ jilid tiga. Mestinya pemerintah bisa belajar dari sejarah, karena ini sudah berkali-kali terjadi,” kata dia. (azm/arrahmah.com)