(Arrahmah.com) – Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyebut korupsi merupakan risiko dari pembangunan. Menurutnya, dengan adanya korupsi menunjukkan bahwa pembangunan di suatu negara berjalan. Meski ia juga tak membenarkan langkah korupsi itu. “Mana yang kita pilih? Tidak ada korupsi, tidak ada pembangunan atau sedikit korupsi ada pembangunan. Di beberapa negara berkembang, korupsi itu justru jadi ‘oli’ pembangunan,” kata Fadli dalam diskusi bertajuk ‘Duh KPK’ di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (30/5/2015). (http://news.detik.com/berita/2929613/fadli-zon-korupsi-justru-jadi-oli-pembangunan)
Korupsi resiko demokrasi
Korupsi keuangan serta ketergantungan negara pada imperialis dan penjarahan kekayaan alam, selain kebijakan yang anti rakyat, disintegrasi, semua itu adalah buah dari demokrasi Amerika yang menjanjikan berbagai bentuk kerusakan, dan ia hanya menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi negara-negara kafir imperialis untuk menjaga hegemoninya atas negara yang sudah terbius racun demokrasi. Kejahatan ekonomi terorganisir dilakukan oleh para pejabat yang pragmatis di depan para investor asing, yaitu dengan mendorong mereka untuk membayar suap yang besar jika mereka ingin memenangkan kontrak investasi di dalam negeri.
Hari ini rakyat Indonesia mengalami salah urus, ketidakmampuan dalam pelayanan rakyat maupun korupsi yang menggurita. Korupsi telah begitu membudaya di negeri ini. Mulai dari perangkat desa sampai pejabat negara. Rakyat melihat kekuasan dan politik sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri, dan rakyat melihat bahwa pelayanan terhadap masyarakat merupakan beban besar. tabiat umum dalam demokrasi adalah mendahulukan kepentingan kelompok mereka dalam urusan pelayanan terhadap rakyat. dalam rumus kapitalis, motivasi utama hanyalah motivasi materi dan mendapatkan keuntungan materi.
Sistem politik melibatkan modal besar dikelola seperti menjadi sebuah industri politik. Biaya kampanye yang sangat tinggi, misal dalam pemilukada sangat tidak seimbang dengan gaji yang diterima saat menjabat. Biaya yang dikeluarkan dianggap sebagai investasi dan harus kembali berikut keuntungan. Dalam sistem seperti itu, masuknya modal tinggi membuat praktek politik transaksional menjadi lumrah. Rahasia umum, jika politisi atau calon penguasa tidak punya modal sendiri, modal itu bisa dia dapatkan dari para ‘investor’ yang siap memberikan modal. Lahirnya kolaborasi pemodal dengan politisi dan penguasa. Biaya yang diberikan cukong itu adalah modal yang dia tanam dan tentu saja harus kembali berikut untungnya. Politisi dan penguasalah yang harus merealisasikan itu atau setidaknya memberi “jalan“. Akhirnya disamping kepentingan sendiri, kepentingan cukong itu menjadi yang utama. Inikah yang dimaksud Fadli Zon dengan menyebut “Di beberapa negara berkembang, korupsi itu justru jadi ‘oli’ pembangunan”?
Kenyataan sistem kapitalisme, kekayaan dan kesejahteraan akan terus mengalirkan kepada segelintir kecil orang dan juga kepada asing. Inilah realitas bahwa politisi dan penguasa hasil dari sistem kapitalisme itu akan selalu jauh dari spirit mengurus rakyat. Juga menunjukkan dalam sistem ini, hubungan rakyat dengan penguasa selalu dilihat dalam kontek hubungan transaksional, layaknya pembeli dengan pedagang dimana rakyat dianggap dan diposisikan sebagai pembeli dan konsumen sementara penguasa memposisikan diri sebagai pedagang.
Pemberantasan korupsi tidak akan bisa dilakukan total dan tuntas jika sistem politik demokrasi yang sarat biaya tetap dipertahankan dan tidak diganti. Sebab, sistem itulah yang menjadi salah satu akar persoalan korupsi. Karena itu komitmen total pemberantasan korupsi haruslah ditunjukkan dengan meninggalkan sistem politik demokrasi itu dan sistem kapitalisme pada umumnya.
Selamatkan dengan Islam
Setiap masalah pasti ditimbulkan oleh dua hal. Pertama adalah kesalahan pada sistem. Kedua adalah kesalahan pada orang. Kesalahan pada sistem itu harus diatasi dengan menghadirkan sistem yang lebih baik. Itulah yang disebut sistem syariah. Sedangkan kesalahan pada rezim jadi harus menghadirkan rezim yang baik itulah khilafah.
Kini telah jelas bahwa demokrasi melahirkan para pemimpin bermental korup, zalim, dan rakus. Demokrasi telah membiasakan para penguasanya untuk gemar berbuat curang, menerima suap, korupsi, dan melakukan kolusi yang merugikan rakyat, padahal Allah dan RasulNya telah mengharamkan perbuatan tersebut. Sesungguhnya kerusakan penguasa dan pemerintahan yang sekarang ada bukanlah sekadar disebabkan bejatnya moral para pemimpin, tapi karena kebusukan sistemnya. Sudah seharusnya umat mencampakkan sistem industri politik demokrasi dan menggantinya dengan sistem yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yang menjamin keberkahan hidup di dunia dan akhirat.
Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah HTI DPD Jatim)
(*/arrahmah.com)