WASHINGTON (Arrahmah.com) – Dua korban serangan pengecut drone AS dan ayah mereka telah muncul di Washington untuk memberikan bukti mengenai pengalaman mereka dengan hanya lima orang anggota Kongres AS yang hadir untuk mendengarkan mereka.
Nabila Rehman (9) dan kakaknya Zubair (13), melakukan perjalanan ke Amerika bersama ayah mereka Rafiq dari Waziristan Utara untuk tampil di hadapan anggota Kongres AS dan mendesak AS untuk mengakhiri serangan pesawat tak berawak tersebut, lapor Al Jazeera (30/10/2013).
Keluarga tersebut menceritakan kisah mereka pada 24 Oktober tahun lalu, ketika pesawat tak berawak menyerang desa mereka. Rudal yang ditembakkan dari pesawat tak berawak menghantam desa mereka, melukai Nabila dan Zubair dan membunuh nenek mereka yang berusia 67 tahun.
Menurut laporan Biro Jurnalisme Investigasi yang berbasis di London, 376 serangan drone AS telah dilancarkan di Pakistan, membunh 926 warga sipil dan sebanyak 200 di antaranya adalah anak-anak.
Zubair menceritakan bagaimana ia terkena pecahan peluru di kakinya,cedera yang mengharuskannya menjalani operasi laser yang mahal untuk penyembuhannya, sementara Nabila mengalami pendarahan di tangannya.
“Aku berusaha membalut tanganku, namun darah seperti tidak berhenti mengalir,” ujar Nabila.
Nenek mereka, Momina Bibi mengalami kondisi sangat parah hingga para tetangga tidak membiarkan anak-anak dan cucunya melihat jenazahnya. Saat kejadian berlangsung, Rafiq yang merupakan seorang guru sekolah dasar, berada di kota yang jauh dari lokasi kejadian.
Rafiq mengatakan, keesokan harinya surat kabar melaporkan bahwa para pejuang Talibat tewas dalam serangan tersebut. Namun sejauh yang ia tahu, ibunya lah satu-satunya korban tewas saat itu.
“Aku tidak lagi menyukai langit biru,” ujar Zubair. “Faktanya, kini aku lebih menyukai langit abu-abu. Drone tidak terbang ketika langit berwarna abu-abu (gelap).”
Dalam pertemuan tersebut, Zubair mengharapkan banyak hal yang sepertinya tidak akan pernah terwujud.
“Saya berharap bisa kembali ke rumah dengan sebuah pesan,” ungkapnya. “Saya harap saya dapat memberitahu komunitas saya bahwa Amerika mendengarkan.” (haninmazaya/arrahmah.com)