MAROKO (Arrahmah.id) – Tim penyelamat yang mencari korban selamat menggali reruntuhan rumah-rumah yang runtuh di desa-desa pegunungan terpencil di Maroko pada Sabtu (9/9/2023), ketika pasukan bersenjata didesak untuk bertindak setelah gempa bumi paling mematikan di negara itu dalam lebih dari 60 tahun terakhir.
Pihak berwenang pada Sabtu mengumumkan tiga hari berkabung nasional setelah gempa berkekuatan 6,8 skala Richter menewaskan lebih dari 2.012 orang dan melukai 2.059 orang, dan banyak yang kehilangan tempat tinggal.
Raja Maroko Mohammed VI memerintahkan angkatan bersenjata untuk memobilisasi tim pencarian dan penyelamatan khusus dan rumah sakit lapangan bedah, menurut sebuah pernyataan dari pihak militer, lansir Al Jazeera.
Gempa yang terjadi di pegunungan Atlas Tinggi Maroko pada Jumat malam itu merusak bangunan-bangunan bersejarah di Marrakesh -kota terdekat dari pusat gempa- sementara sebagian besar korban jiwa dilaporkan terjadi di wilayah pegunungan di selatan di provinsi Al-Haouz dan Taroudant.
Di desa pegunungan Tafeghaghte yang berada di dekat pusat gempa, hampir tidak ada bangunan yang tersisa. Batu bata tanah liat tradisional yang digunakan oleh penduduk Berber di wilayah tersebut terbukti tidak mampu menahan gempa yang langka ini.
“Tiga cucu saya dan ibu mereka tewas -mereka masih tertimbun reruntuhan,” kata seorang penduduk desa, Omar Benhanna (72), kepada AFP. “Beberapa saat yang lalu, kami semua sedang bermain bersama.”
Pusat gempa berada di kedalaman 18,5 km (11,5 mil) dan terjadi sekitar 72 km (44 mil) timur laut Marrakesh, kata Survei Geologi Amerika Serikat (USGS).
Lahcen Haddad, seorang senator dan mantan menteri Maroko, mengatakan bahwa pihak berwenang merespons dengan cepat meskipun ada banyak tantangan, termasuk medan yang sulit.
“Pihak berwenang Maroko membawa orang-orang ke rumah sakit di Marrakesh. Ada seruan untuk mendonorkan darah. Setelah gempa bumi Al Hoceima pada 2004, [pihak berwenang] menyusun rencana besar untuk melakukan intervensi cepat,” katanya kepada Al Jazeera.
Di kota bersejarah Marrakesh, orang-orang dapat dilihat di televisi pemerintah berkerumun di jalan-jalan, takut untuk kembali ke dalam gedung-gedung yang mungkin masih belum stabil.
Masjid Koutoubia yang terkenal di kota ini, yang dibangun pada abad ke-12, mengalami kerusakan namun tingkat kerusakannya belum diketahui secara pasti. Menara setinggi 69 meter (226 kaki) dikenal sebagai “atap Marrakesh”. Warga Maroko juga mengunggah video yang menunjukkan kerusakan pada bagian tembok merah yang terkenal yang mengelilingi kota tua, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO.
Federasi Sepak Bola Kerajaan Maroko mengumumkan bahwa pertandingan kualifikasi Piala Afrika melawan Liberia, yang seharusnya dimainkan pada hari Sabtu di kota pantai Agadir, telah ditunda tanpa batas waktu.
Palang Merah mengatakan bahwa mereka memobilisasi sumber daya untuk mendukung Bulan Sabit Merah Maroko, namun direktur Timur Tengah dan Afrika Utara, Hossam Elsharkawi, memperingatkan: “Kami melihat adanya respon selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.”
‘Rumah yang miring’
Di desa Amizmiz, dekat pusat gempa, para petugas penyelamat mengais-ngais reruntuhan dengan tangan kosong.
Di luar sebuah rumah sakit, sekitar 10 mayat terbaring berselimut sementara kerabat yang berduka berdiri di dekatnya.
“Ketika saya merasakan bumi berguncang di bawah kaki saya dan rumah saya miring, saya bergegas mengeluarkan anak-anak saya. Tapi tetangga saya tidak bisa,” kata Mohamed Azaw kepada kantor berita Reuters.
“Sayangnya, tidak ada seorang pun yang ditemukan dalam keadaan hidup dalam keluarga itu. Ayah dan anak laki-laki ditemukan tewas dan mereka masih mencari ibu dan anak perempuannya.”
Tim penyelamat berdiri di atas lantai yang hancur di salah satu bangunan di Amizmiz, sekitar 55 km (34 mil) selatan Marrakesh, dengan karpet dan perabotan yang menonjol dari reruntuhan. Antrian panjang terbentuk di luar satu-satunya toko yang masih buka saat orang-orang mencari persediaan.
Menggarisbawahi tantangan yang dihadapi tim penyelamat, batu-batu besar yang jatuh memblokir jalan dari Amizmiz ke desa terdekat.
Wartawan Younis Ezzouhir mengatakan kepada Al Jazeera dari Marrakesh bahwa upaya-upaya terus dilakukan untuk membuka jalan agar dapat menjangkau lebih banyak orang yang selamat di daerah-daerah yang terkena dampak di provinsi al-Haouz, terutama kota kecil Talat N’Yaaqoub dan daerah pedesaan di sana.
“Jalan ini menghadapi tanah longsor. Ini adalah jalan pegunungan, tetapi sifat dari jalan ini adalah tanahnya adalah tanah lumpur, sehingga rapuh, dan dengan curah hujan atau gempa bumi, ada sejumlah besar tanah dan batu yang jatuh dari pegunungan,” kata Ezzouhir.
Getaran gempa terasa hingga ke Huelva dan Jaen di selatan Spanyol. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa lebih dari 300.000 orang terkena dampak di Marrakesh dan sekitarnya. (haninmazaya/arrahmah.id)