(Arrahmah.com) – Dari tinjauan aqidah, mengakui adanya tuhan-tuhan selain Allah adalah kemusyrikan, dan wajib ditolak dengan harga mati. Lalu, mengapa di dalam Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah, kata ilaahun dan rabbun diterjemahkan ‘tuhan’? Apa bedanya dengan terjemah harfiyah yang juga menerjemahkan istilah yang sama dengan arti yang sama pula? Bukankah kosakata Tuhan masuk ke dalam bahasa Indonesia, akibat pengaruh teologi Kristen? Apakah tidak sebaiknya kata ‘ilaahun‘ dan‘rabbun’ tidak usah diterjemahkan, dibiarkan saja dalam bahasa aslinya.
Pertanyaan ini datang dari sementara pembaca kritis Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah, termasuk para tokoh dan aktivis gerakan Islam juga mempersoalkan istilah ini. Bahkan banyak di kalangan kaum muslimin merasa risi dan alergi menggunakan kata tuhan yang dianggap berasal dari doktrin non Islam.
Konon, keterangan tentang Tuhan berasal dari plesetan kata Tuan, ditemukan dalam Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ. “Arti kata ‘Tuhan’ ada hubungannya dengan kata Melayu ‘tuan’ yang berarti atasan/penguasa/pemilik”. Keterangan ini dikaitkan dengan terjemahan Brouwerius, 1668, untuk istilah Yunani, Kyrios, sebutan bagi Isa Almasih. Maksudnya Tuan Yesus, tapi dalam Bahasa Indonesia diplesetkan menjadi istilah musyrik, Tuhan Yesus.
Selanjutnya kata Tuhan itu dibakukan sebagai kosakata baru, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta (Katolik), maknanya disejajarkan dengan kata ilaahun dalam bahasa Arab, yaitu Allah.
Lepas dari kasus plesetan atau teologi Kristen itu, yang pasti setiap bahasa memiliki keterbatasan padanan kata dari kosa kata bahasa lain. Problem keterbatasan kosa kata ini, biasa terjadi pada setiap bahasa apapun di dunia ini. Akan tetapi, bila suatu kata dalam bahasa asing yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia tidak boleh diterjemahkan, niscaya akan menyulitkan pembaca yang ingin memahami maknanya.
Upaya penerjemahan suatu bahasa ke bahasa lain, aspek intelektualitas dan budaya pengguna bahasa sangat menentukan kekayaan kosa kata suatu bahasa. Dalam kaitan ini, untuk menjelaskan kata ‘tuhan’ sebagai terjemah dari kata ‘ilaahun‘ dan ‘rabbun‘, haruslah dipahami argumentasi bangsa Arab yang menerjemahkan kata ‘tuhan’ dan ‘dewa’ sebagai ilaahun.
Sebagai contoh, kata dewa dan tuhan dalam bahasa Indonesia, terjemahan Arabnya sama, yaitu ilaahun. Padahal pengertian kata Dewa dan Tuhan dalam bahasa Indonesia sangat jauh berbeda.
Kata Tuhan pengertiannya adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dsb. Sedangkan kata dewa pengertiannya adalah makhluk Tuhan yang berasal dari sinar yang ditugasi mengendalikan kekuatan alam atau orang, juga berarti sesuatu yang sangat dipuja. (KBBI, 1990)
Oleh karena itu, jika kata ilaahun dan rabbun tidak diterjemahkan dengan kosa kata yang populer dalam bahasa Indonesia, justru mempersulit pembaca untuk memahami kata ilaahun dan rabbun. Padahal terjemahan itu bertujuan untuk mempermudah pembaca memahami makna kalimat yang dibaca.
Kata tuhan dalam Al-Qur’an
Kata ilaahun terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai pecahan dari kata laha – yalihu – laihan, yang berarti Tuhan yang Mahapelindung, Mahaperkasa. Ilaahun, jamaknya aalitahun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’. Dengan demikian ilaahun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun, ‘yang mengabdi’, atau ‘hamba’, atau ‘budak’.
Selain ilaahun, dalam Al-Qur’an juga terdapat kata rabbun yang digunakan untuk menyebut Tuhan. Kata rabbun terdiri atas dua huruf: ra dan ba, adalah pecahan dari kata tarbiyah, yang artinya Tuhan yang Mahapengasuh. Secara harfiah rabbun berarti pembimbing, atau pengendali. Selain dimaknai Allah, kata rabbun juga digunakan untuk sebutan tuhan selain Allah, seperti arbaban min dunillah, menjadikan pendeta, pastur, dan Isa Al-Masih sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Dalam Al-Qur’an kata ilaahun juga dipakai untuk menyebut berhala, hawa nafsu, dewa. Semua istilah tersebut dalam Al-Qur’an menggunakan kata ilaahun, jamaknya aalihatun.
a. Allah Swt. menyatakan Dia sebagai ilaahun.
… إِنَّمَا ٱلله إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ سُبْحَٰنَهُۥ أَن يَكُونَ لَهُۥ وَلَدٌ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَكَفَىٰ بِٱللهِ وَكِيلً
“… Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Esa, Mahasuci Allah dari mempunyai anak. Semua yang ada di langit dan di bumi hanyalah milik-Nya. Cukuplah Allah sebagai saksi atas kebenaran keesaan-Nya.” (Qs. An-Nisaa’ 4:171)
b. Allah Swt. menyatakan hawa nafsu yang diikuti orang kafir sebagai ilaahun.
أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
“Wahai Muhammad, apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang kafir yang menuhankan hawa nafsunya? Apakah kamu punya kekuasaan untuk memberi hidayah kepada mereka?” (QS. Al-Furqan, 25: 43)
c. Allah Swt. menyatakan sesembahan orang musyrik sebagai ilaahun.
… فَمَآ أَغْنَتْ عَنْهُمْ ءَالِهَتُهُمُ ٱلَّتِى يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللهِ مِن شَىْءٍۢ لَّمَّا جَآءَ أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“… Maka Tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah itu tidak dapat menolong mereka sedikit pun ketika datang adzab dari Tuhanmu. Tuhan-tuhan itu justru menambah kerugian yang sangat besar.” (QS. Hud, 11: 101)
d. Allah Swt. menyatakan para pendeta sebagai rabbun
ٱتَّخَذُوٓا۟ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَٰنَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللهِ وَٱلْمَسِيحَ ٱبْنَ مَرْيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوٓا۟ إِلَٰهًا وَٰحِدًا لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan pendeta-pendeta mereka, pastur-pastur mereka, dan Al-Masih bin Maryam sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Padahal mereka hanya diperintah untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Allah. Mahasuci Allah dari semua keyakinan syirik yang mereka buat-buat.” (Qs. At-Taubah, 9:31)
Kata ilaahun dan rabbun sesungguhnya warisan bahasa Arab jahiliyah yang dipertahankan penggunaannya dalam Al-Qur’an, sebagaimana contoh di atas.
Orang-orang Arab sebelum Islam, memahami makna kata ilaahun sebagai dewa atau berhala, dan mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari. Apabila orang Arab Jahiliyah menyebut dewa cinta, maka mereka mengatakan ilaahul hubbi, dan ilaahatul hubbi untuk menyebut dewi cinta. Kaum penyembah berhala (animisme), atau aliran kepercayaan di zaman kita sekarang, sebagaimana orang-orang Arab Jahiliyah, menganggap tuhan mereka berjenis kelamin, laki dan perempuan.
Oleh karena itu, pembaca terjemah Al-Qur’an tidak perlu alergi terhadap kata tuhan (ditulis dengan t kecil) sebagai terjemahan dari katailaahun dan rabbun. Umat Islam tidak perlu merasa khawatir tercoreng aqidahnya, karena ini hanya problem keterbatasan kosa kata bahasa Indonesia.
Penyelaras Bahasa
Qur’an Tarjamah Tafsiriyah
Ustadz Irfan S Awwas