TUNIS (Arrahmah.com) – Habiba telah mengenakan niqab sejak berusia 16 tahun. “Ini adalah wajahku dan saya bebas untuk menutup atau membukanya,” ujar gadis berusia 21 tahun yang saat ini duduk di bangku kuliah di Universitas Zeitouna dan mempelajari Teologi dan Pemikiran Islam kepada Al Jazeera.
Habiba yang menolak untuk memberikan nama belakangnya kepada Al Jazeera, mengatakan ia merasa ditargetkan oleh otoritas Tunisia saat melaksanakan keyakinan agamanya.
Pada bulan Februari, Menteri Dalam Negeri Tunisia bersumpah akan memperkenalkan kontrol yang lebih ketat untuk pemakaian niqab.
“Mengingat ancaman ‘teroris’ yang disaksikan oleh negara dan beberapa tersangka dan buronan sengaja memakai niqab untuk menyamar dan melarikan diri dari satuan keamanan, kementerian akan memperketat kontrol prosedural pada setiap orang yang memakai niqab dalam kerangka apa yang diwewenangkan oleh hukum,” klaim kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
Tapi apa yang dimaksud dalam hal ini untuk praktiknya masih belum jelas.
Dihubungi oleh Al Jazeera, juru bicara kementerian Mohamed Ali Aroui menolak untuk memberikan rincian lebih lanjut.
“Kami telah mengeluarkan pernyataan dan tidak ada hal yang perlu dijelaskan. Hukum akan diterapkan pada mereka yang mengenakan niqab,” ujarnya seperti dilansir Al Jazeera (26/4/2014).
Situasi hukum di Tunisia sejak revolusi 2011 cukup pelik, dengan Undang-undang di era mantan Presiden Zine El Abidine Ben Ali masih tercatat dan konstitusi baru yang ditandatangani pada bulan Februari belum sepenuhnya dilaksanakan. Karena UU “Terorisme” 2003 dan Undang-undang Pasukan Keamanan Dalam Negeri terpisah, polisi bisa menghentikan pejalan kaki atau pengendara di jalan, mengidentifikasi kebutuhan mereka, melakukan pencarian dan menginterogasi mereka.
Kekerasan terus menjangkiti Tunisia sejak revolusi 2011 yang menggulingkan Ben Ali. Otoritas sekuler Tunisia menyatakan bahwa pejuang Islam berada di balik serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan menunjuk jari pada kelompok Anshar Al-Shariah yang menginginkan syariat Islam tegak di Tunisia.
Meskipun Ennahda, partai yang menyatakan diri sebagai “Partai Islam” memiliki representasi terbesar di majelis nasional Tunisia, banyak pihak di Tunisia merasa takut bahwa negara itu akan kembali kepada kebijakan anti-agama seperti yang terjadi di era Ben Ali dan pendahulunya Habib Bourguiba.
Bourguiba melarang wanita mengenakan niqab dan hijab di sekolah-sekolah pada tahun 1957. Suatu saat, di depan kamera, ia melepaskan kerudung yang dikenakan oleh seorang Muslimah di pinggir jalan. Di era Ben Ali, hal-hal yang menjadi ciri seorang Muslim seperti jenggot dan niqab, menjadi alasan bagi pasukan keamanan untuk melecehkan mereka. (haninmazaya/arrahmah.com)