JAKARTA (Arrahmah.com) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Mabes Polri segera memulai penyidikan pidana terhadap anggota Detasemen Khusus Anti-Teror (Densus) 88, yang terlibat dalam kasus kematian terduga teroris asal Klaten, Siyono. Meski dua anggota Densus 88 sudah dikenai sanksi etik dalam kasus tersebut, Kontras dan pihak keluarga Siyono mendesak agar proses pidana juga dijalankan.
Wakil Koordinator Kontras, Yati Andriyani mengatakan, hasil keputusan sidang etik Majelis Etik Mabes Polri terhadap dua anggota Densus 88 dalam kasus kematian Siyono masih jauh dalam memberikan rasa keadilan terhadap keluarga Siyono.
“Kontras telah melakukan pemantauan dan kami menilai hasil sidang kode etik sama korban, jauh dari penyelesaian kasus yang konkret,” ujarnya di Kantor Kontras, Jalan Kramat II, Jakarta, lansir Rmol.
Menurutnya, ketidakadilan itu tampak dari proses persidangan yang dilakukan secara tertutup dan tidak dapat diakses publik. Bahkan, majelis etik juga melarang ayah dari Siyono, Marso Diyono, untuk didampingi kuasa hukum saat akan menghadiri dan memberikan kesaksian dalam persidangan etik tersebut.
“Tidak ada upaya pertanggungjawaban, yang terjadi justru ada upaya menutupi kasus kematian Siyono. Kami berharap mekanisme internal bisa selesaikan kasus tapi justru ada usaha melindungi anggota Densus yang diduga melakukan pelanggaran,” katanya.
Staf Divisi Hak Sipil Politik Kontras, Satrio Wirataru, mengatakan proses pidana terhadap anggota Densus 88 tidak boleh berhenti meskipun Polri telah menjatuhkan sanksi etik kepada mereka.
“Hasil sidang etik tidak bisa menggugurkan mekanisme pidana. Kami minta kepolisian segera memproses laporan tindak pidana dari keluarga korban ke Polres Klaten,” sebutnya.
Satrio menuturkan, saat menemukan adanya dugaan tindakan pidana, polisi seharusnya menggelar penyidikan dan pengenaan sanksi melalui persidangan tindak pidana. Setelah itu, mekanisme sidang etik oleh Majelis Etik Mabes Polri bisa dilakukan agar penjatuhan sanksi etik. “Sanksi etik berupa pemberhentian dengan tidak hormat bisa diberikan,” katanya.
Jika mekanisme etik lebih didahulukan daripada proses pidana ini bisa menjadi preseden buruk apabila dikemudian hari terjadi kasus yang sama oleh anggota Densus 88. Satrio menekankan, proses pidana harus tetap ditempuh untuk menjamin rasa keadilan dalam pemberian sanksi dan pemenuhan hak-hak bagi korban maupun keluarganya.
Proses pidana juga dinilai penting untuk dilakukan sebagai koreksi terhadap kinerja Densus 88. “Jangan sampai penanganan terduga teroris menjadi alat kesewenang-wenangan aparat,” tandasnya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti mengaku sudah mengetahui soal laporan dugaan pembunuhan oleh anggota Densus 88 yang dilaporkan oleh keluarga terduga teroris Siyono. “Nanti laporan itu diproses, intinya semua laporan polisi yang masuk ke Polri dilakukan penyelidikan,” ujar Kapolri di Jakarta.
Badrodin mengatakan penyidik akan menyelidiki apakah memang betul ada tindak pidana dalam kasus tewasnya Siyono saat dibawa untuk pengembangan oleh dua anggota Densus 88. “Kami lakukan penyelidikan, apakah betul ada tindak pidana atau tidak. Silahkan anggota lakukan langkah penyelidikan sebagaimana SOP yang berlaku,” tegasnya.
Diketahui, Majelis Etik Mabes Polri telah menjatuhkan sanksi etik terhadap dua anggota Densus 88 yaitu AKBP T dan Ipda Huntuk meminta maaf kepada atasannya maupun institusi Polri.
Selain itu, dua anggota Densus 88 tersebut tidak direkomendasikan untuk melanjutkan tugas di satuan Densus 88, dan akan dipindahkan ke satuan kerja lain dalam waktu minimal 4 tahun. Majelis etik menganggap, keduanya hanya melakukan pelanggaran prosedur pengawalan saat menangkap terduga teroris Siyono.
(azm/arrahmah.com)