JAKARTA (Arrahmah.com) – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) menyatakan tindak kekerasan yang dialami oleh masyarakat sipil terus meningkat. Pemerintah dianggap belum melakukan upaya maksimal untuk melindungi masyarakat sipil dari tindak kekerasan.
Menurut Ketua Badan Pekerja Kontras, Haris Azhar, pada tahun 2010 saja pihaknya mencatat ada 100 tindak kekerasan yang menimpa para pegiat HAM dan demokrasi. Mereka terdiri dari sejumlah profesi seperti wartawan, nelayan, buruh, dan petani.
Menurutnya, secara umum ada peningkatan tindak kekerasan terhadap mereka setiap tahunnya. Peningkatany itu tidak hanya berdasarkan jumlah tindak kekerasan tetapi juga bentuk kekerasan itu. Sehingga, ia menyatakan ada perluasan jenis kekerasan yang dialami oleh masyarakat sipil.
“Negara tidak mampu memberikan perlindungan pada mereka,” ujar Haris usai acara HUT Kontras ke-13 di Jakarta, Minggu (20/3/2011).
Menurutnya, pemerintah tidak melakukan upaya maksimal untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya. Padahal, pemerintah sudah diberikan kesempatan untuk membuka diri melakukan pendekatan kepada masyarakat sipil.
Selain itu, pemerintah juga telah melakukan pendekatan pada keluarga korban tindak kekerasan. Tetapi pemerintah hanya melakukan upaya sebatas itu. Tidak ada tindakan nyata untuk mengungkap kasus-kasus dimana para korbannya adalah bagian dari keluarga itu sendiri.
Diantara kasus-kasus kekerasan itu seperti kekerasan yang terjadi di Papua, Aceh, dan peristiwa kerusuhan 1998. Pemerintah dianggap belum mampu memberikan keadilan kepada keluarga korban.
Sebelumnya, Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Pemerintah harus memberikan konpensasi kepada para korban pelanggaran HAM.
Menurut Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, bentuk tanggung jawab pemerintah itu adalah dengan mengakui bahwa pelanggaran yang terjadi di masa lalu adalah kesalahan pemerintah. Pemerintah juga harus meminta maaf atas kesalahannya atas pelanggaran tersebut
“Tentu saja pemerintah juga harus merehabilitasi dan memberikan konpensasi kepada para korban pelanggaran HAM,” kata Ifdhal.
Ifdhal mengatakan, ada banyak sekali kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia yang penanganannya tidak selesai. Untuk kasus pelanggaran berat misalnya, ada 15 kasus yang terjadi dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Diantaranya, kasus Tanjung Priok, Talang Sari, Kerusuhan Mei 1998, penculikan aktivis, kekerasan di Aceh dan Ambon.
Menurutnya, kasus-kasus itu selama ini ditangani oleh Komnas HAM. Tetapi, Komnas HAM kesulitan untuk mengungkap kasus itu karena tidak adanya dukungan dan keseriusan dari pemerintah untuk membantu mengungkap kasus tersebut. (rep/arrahmah.com)