JAKARTA (Arrahmah.com) – Sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, setiap aparat hukum seperti Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri berwenang menggunakan senjata api. Namun mestinya kewenangan harus digunakan semestinya, bukan digunakan semena-mena.
“Jadi hal ini harus jadi tolak ukur setiap aparat Densus 88. Jangan sampai kewenangan khusus yang melekat pada institusi anti-teror ini digunakan secara semena-mena,” ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, saat ditemui di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Senin (16/5/2011).
Haris menjelaskan, kewenangan itu mestinya dilakukan ketika polisi berada dalam kondisi genting dan terdesak, sebagaimana diisyaratkan dalam standar operasional prosedur (SOP) kepolisian.
Seperti saja dalam kasus penembakan di Sukoharjo, Solo, 14 Mei kemarin yang menewaskan seorang warga sipil Nur Imam.
“Dalam kasus itu kan jelas, kita meragukan keprofesionalitasan Densus 88 dalam melakukan assessment situasi dan kondisi di lapangan, ketika akhirnya warga sipil menjadi korban dalam pengrebekan tersebut,” ujarnya seperti yang ditulis oleh Liputan6.com.
Menurut Haris dalam dua tahun terakhir, Densus 88 kerap melakukan pendekatan senjata api untuk menindak kasus terorisme di Indonesia. Setidaknya dari enam operasi anti-terorisme Densus 88 pada 2010, 24 orang tewas tertembak oleh Densus 88, sembilan orang luka tembak, 420 orang ditangkap dan diproses hukum, 19 orang ditangkap namun, akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti terlibat dalam aksi teror yang disangkakan.
Memasuki bulan Mei 2011, tercatat dalam empat operasi Densus 88, 4 orang dinyatakan tewas, 35 orang ditangkap, dan 5 orang lainnya ditangkap namun kemudian dibebaskan.
Dari operasi penindakan terorisme tersebut, dalam catatan Kontras Hariz menyebutkan pada umumnya korban meninggal dengan luka tembak di bagian-bagian yang mematikan, seperti di kepala, dada, dan jantung.
“Kemungkinan data ini akan semakin bertambah jumlahnya jika kita membuka praktik-praktik penyimpangan lainnya yang dilakukan Densus 88 pasca Bom Bali,” ujarnya.
Karena itu, pihaknya mendesak agar pemerintah dan seluruh jajaran terkait segera melakukan evaluasi program deradikalisasi. Selain itu, ia juga berharap agar Densus 88 lebih terbuka dengan praktik-praktik pengawasan evaluasi dan independen sehingga dapat menjamin prinsip akuntabilitas institusi Kepolisian RI.
“Jadi jangan hanya memberikan pembenaran atas nama politik keamanan dunia saja. Tapi, publik Indonesia ini butuh lembaga penegak hukum yang profesional, tunduk kepada otoritas sipil, patuh terhadap prinsip-prinsip penegakan HAM, dan mampu memberikan rasa aman kepada setiap warganya,” tegasnya.
Sementara itu pernyataan Kadiv Humas Polri Irjen Anton Bachrul Alam yang mengatakan Nur Iman tewas terkena peluru yang ditembakkan Sigit tidak begitu saja diterima Komnas HAM. Menurut Kabul Supriyadhie, Komisionir Komnas HAM, pihaknya akan mengusut insiden itu, termasuk dengan uji forensik barang bukti peluru yang menewaskan Nur Iman. “Kami akan memerika tubuh korban,” katanya.
Senada dengan Komnas HAM, belakangan Mabes Polri akhirnya memutuskan membentuk tim untuk mengusut insiden terbunuhnya Nur Iman. Pembentukan itu atas desakan kelurga korban. Tim tersebut melibatkan Divisi Profesi dan Pengamanan serta Inspektur Pengawasan Umum Polri.(rasularasy/arrahmah.com)