Oleh Suryani
Pegiat Literasi
Tidak lama lagi rakyat negeri ini akan kembali memilih para pemimpin daerah (Pilkada) secara serentak yang diadakan pada 27 November mendatang. Para Partai Politik bersiap siaga untuk mendaftarkan kader terbaiknya untuk mengikuti kontestasi tersebut.
Salah satunya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang telah berkoalisi dengan Partai Golkar daerah Depok, yang telah mengusung Imam Budi Hartono dan Ririn Farabi A. Rafiq sebagai bakal calon walikota dan wakil di daerahnya. Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKS kota Depok Imam Budi Hartono menyatakan, berencana secepatnya melakukan deklarasi usai keluar Surat Keputusan (SK) dari DPD masing-masing. (Tempo.co.id, Minggu, 12 Mei 2024)
Demikian pula di Bandung, sejumlah nama artis muncul untuk posisi Wakil Bupati. Dadang Supriatna yang dipastikan akan kembali maju di pilkada mendatang menyatakan, bahwa dirinya telah melakukan komunikasi politik dengan sejumlah nama pesohor negeri ini di antaranya, Deny Cagur, Irfan Hakim, Rachel Maryam dan beberapa artis lainnya, untuk mendampingi beliau dalam pencalonan bupati dan wakil bupati. (RRI.co.id, 10 Mei 2024)
Partai politik yang akan mencalonkan kadernya tentu sudah mulai bersiap serta mengatur strategi untuk kemenangan di Pilkada tersebut. Dimulai dengan menggalang dukungan dana dari para oligarki, juga mendekati rakyat dengan janji-janji manis dan popularitas demi kursi panas yang akan didudukinya.
Bahkan tidak segan-segan menggandeng artis untuk mendongkrak popularitas. Karena mereka dipandang orang-orang yang banyak dikenal masyarakat umum, dan terbukti di pemilihan sebelumnya para calon yang datang dari publik pigur bisa meraih suara lebih banyak, dan memenangkan kontestasi.
Hal tersebut sudah lazim dilakukan dalam politik yang menganut demokrasi kapitalisme. Tidak peduli apakah janji-janji tersebut mampu dipenuhi atau tidak, yang terpenting bagaimana rakyat terbuai dan memilih dirinya. Juga sengaja menggandeng pablik figur yang telah dikenal masyarakat umum, walaupun tidak punya kredibilitas untuk menjadi seorang pemimpin. Dari sini rakyat kembali diburu hanya untuk meraih suaranya bukan untuk dilayani kebutuhannya.
Sehingga bisa dikatakan tujuan dalam kontestasi ini bukan untuk mengurus urusan rakyat melainkan untuk memenuhi kepentingan diri dan golongannya. Juga memuluskan urusan para oligarki yang telah membiayainya, maka wajar ada istilah bagi-bagi kue kekuasaan.
Dari program kerja para calon hingga mereka terpilih, sedikit sekali menguntungkan rakyat tapi kebanyakan merupakan pesanan segelintir orang, yakni pengusaha dan pemilik modal. Seperti halnya proyek KCIC, pemindahan ibu kota dan lainnya membuktikan kebijakan yang dibuat bukan untuk rakyat secara keseluruhan, tapi untuk kemudahan dan kelancaran sebagian besar pemodal.
Sehingga tidak heran setelah pemilihan, rakyat kembali menderita, kemiskinan semakin bertambah, kebutuhan pokok terus naik menjadikan daya beli masyarakat menurun, lapangan pekerjaan semakin sulit, bahkan Pemutusan Kerja Sepihak (PHK) kini banyak dilakukan para pengusaha. Alhasil berubahnya pemimpin tidak memberikan perubahan kepada kehidupan rakyat.
Itulah fakta yang kini terjadi dalam kapitalisme. Kekuasaan hanya menjadi sarana untuk memenuhi kepentingan diri dan golongannya. Perannya yang sangat vital bagi rakyat tidak berfungsi sama sekali, pada akhirnya umat menderita dan mengalami kemunduran dalan setiap sendi kehidupan.
Keadaannya tidak demikian apabila Islam yang menjadi landasan kehidupan termasuk bernegara. Dalam pandangan Islam, kekuasaan merupakan amanah dan tanggung jawab besar yang tentunya ada perhitungannya sampai di akhirat kelak. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.
“Kalian semua adalah pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin bagi rakyatnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya…….” (HR Bukhari)
Di samping itu kekuasaan dalam Islam berfungsi untuk menerapkan syariat secara menyeluruh. Serta menyebarkan Islam keseluruh penjurun dunia, sehingga Islam rahmatan lil alamin bisa dirasakan oleh umat manusia.
Mekanisme memilih kepala daerah dilakukan dengan sederhana, cepat dan murah, efektif dan efisien. Juga benar-benar dipastikan memenuhi syarat-syaratnya yakni, muslim, laki-laki, merdeka, balig, berakal, adil dan termasuk orang yang memiliki kemampuan.
Kepala daerah (wali/amil) dipilih langsung oleh kepala negara (khalifah). Tentu dengan sangat memahami yang dipilihnya termasuk golongan orang yang memiliki kelayakan (kemampuan dan kecakapan) untuk memegang urusan pemerintahan, berilmu dan dikenal ketakwaannya.
Adapun setelah terpilih khalifah akan senantiasa mengontrol dan mengawasi dengan ketat serta melakukan audit secara berkala atas mereka. Adakalanya satu waktu dikumpulkan untuk memonitoring langsung sekaligus mendengar keluhan dan aspirasi masyarakat terkait kinerjanya.
Sehingga tujuan dari adanya kepala daerah bisa tercapai, yakni membantu negara (khalifah) untuk mengurus kepentingan rakyatnya. Bukan hanya mengurus agar terpenuhi sandang, pangan, dan papannya saja, dipastikan keamanan, kesehatan, pendidikan bisa diakses warga dengan mudah dan murah bahkan gratis. Selain itu keimanan dan ketakwaan individu rakyat berada dalam tanggung jawabnya.
Adapun untuk pemberhentian seorang wali dilakukan ketika ada pelanggaran hukum syara atau ketika masyarakat yang dipimpinnya telah menampakan ketidakridaan dan ketidaksukaan terhadap pemimpin tersebut.
Itulah keunggulan sistem Islam dalam memilih kepala daerah. Tidak akan kesulitan mendapatkan pemimpin amanah yang mencintai dan dicintai rakyatnya. Kehidupan akan harmonis juga alam semesta terjaga, karena semua tunduk dan patuh pada aturan penciptanya. Sehingga tujuan Allah menciptakan manusia sebagai khalifah fil ardi terlaksana dengan sempurna.
Wallahu alam bi shawab.