DAMASKUS (Arrahmah.id) — Deklarasi konstitusi baru Suriah yang diketok Presiden sementara Suriah Ahmad asy Syaraa mendapat kritikan dan penolakan dari sejumlah tokoh dan ulama yang sebelumnya mendukung perlawanan Suriah.
Sejumlah tokoh dan ulama seperti: Dr. Bassam Shuhyuni (presiden pemerintahan HTS ketika di Idlib masa periode 2017-2020), syaikh ‘Abdurrazzaq al-Mahdi (salah satu pendiri HTS), Syaikh Yahya al-Farghali (mantan mufti HTS), Syaikh az-Zubair al-Ghazi (mufti sayap militer HTS), Syaikh Abu Bashir ath-Tharthusi (salah satu mufti FSA), Syaikh Abu Hamzah al-Kurdi, Syaikh Abu Muhammad Nashr, Syaikh Dr. Abu ‘Abdillah asy-Syami (mantan petinggi HTS dan Jabhah Ansharuddin), Syaikh Abul Walid al-Hanafi (mantan mufti Ahrar Syam dan HTS), dan Syaikh Prof. Iyyad Qunaibi, Ph.D menyatakan bahwa beberapa hal dalam konstitusi baru Suriah telah melanggar syariat.
Yahya al-Farghali mengkritisi pasal kedua yang menyatakan Islam sebagai sumber utama hukum. Menurutnya kata “sumber utama” membuka pintu kesyirikan dalam penerapan kekuasaan Allah secara mutlak karena hal ini melazimkan adanya sumber-sumber hukum lainnya, dikutip dari akun X miliknya (@yahyaelfaghaly) pada Kamis (13/3/2025).
Dia juga mempermasalahkan bunyi Pasal 51 yang menegaskan bahwa hukum positif terdahulu yang bertentangan dengan hukum Allah harus tetap dijalankan, meskipun banyak musibah yang menimpa.
Untuk solusinya, menurut al Farghali, penetapan hukum Islam sebagai satu-satunya sumber perundang-undangan harus tegas. Tidak bisa dikatakan dapat mengambil dari sumber lain. Lalu harus ada pernyataan tegas akan pembatalan semua undang-undang yang diterbitkan sebelum konstitusi baru ini.
Iyyad Qunaibi pun menjelaskan bahwa ungkapan “Syariat Islam adalah sumber utama perundang-undangan” memiliki unsur kesyirikan karena memiliki makna bahwa terdapat sumber lain perundang-undangan. Ungkapan “Allah adalah tuhan utama (ket: terdapat tuhan-tuhan/sesembahan-sesembahan lainnya)” ini adalah ungkapan orang-orang musyrik di zaman jahiliah.
Penolakan dan kritikan semakin kuat setelah adanya wawancara Hassan al-Daghim, juru bicara komite persiapan konferensi dialog nasional Suriah, dengan Sky New Arab (14/3).
Daghim mengatakan bahwa hukum Islam yang dimaksud fikih dalam konstitusi Suriah yang baru ini mencakup hukum Syi’ah Nushairiyyah dan hukum Druze. Pernyataan itu dilandaskan karena kaum Alawi dan Druze pada dasarnya masih Muslim.
Ketua panitia penyusunan konstitusi Suriah, Abdul Hamid Al-Awak, menegaskan bahwa hukum Islam hanya menjadi sumber utama perundang-undangan dengan dibatasi pada sebagian aspek.
Menurutnya, para legislator diberi kebebasan untuk tetap bisa mengambil undang-undang buatan dari hukum Prancis dan Inggris yang sudah diterapkan sebelumnya.
Selain mendapat kritikan dan penolakan dari sejumlah tokoh lokal, konstitusi baru Suriah ini pun mendapat respon negatif dari Syarif al-Hasan al-Kattani, Ketua Rabithah ‘Ulama Maghribi ‘Arabi.(hanoum/arrahmah.id)