(Arrahmah.com) – Akhir-akhir ini, kita rasakan, orang-orang kafir Yahudi, Nasrani, bahkan komunis, semakin berani menampakkan kebenciannya pada Islam, dan menunjukkan permusuhannya pada kaum Muslimin. Keberanian mereka tidak lepas dari peran provokatif kaum munafik, supaya terus menerus mengganggu dengan isu-isu yang menyudutkan umat Islam, seperti tuduhan teroris, radikal, wahabi, dan lain-lainya. Sebagai akibatnya, hari ini peran umat Islam kian tersingkir dan lemah menghadapi eksistensi serta dominasi kaum kuffar dalam pengelolaan negara.
Bagaimana pola kerja muslim munafik yang bercokol di partai, organisasi, birokrasi, kaum profesional, memprovokasi orang-orang kafir untuk memecah belah kaum Muslimin? Al-Qur’anul karim mengungkapnya secara gamblang:
“Wahai Muhammad, apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada kaum Yahudi dan Nasrani, teman-teman mereka yang kafir: “Jika kalian diusir dari Madinah, maka kami pun akan pergi bersama kalian. Kami akan membela kalian dan tidak akan menaati orang-orang yang mengusir kalian untuk selamanya. Jika kalian diperangi, niscaya kami akan membela kalian.” Allah menjadi saksi bahwa orang-orang munafik itu pendusta.” (QS Al-Hasyr (59) : 11)
Kasus persekongkolan munafikin pimpinan Abdullah bin Ubai dan ahlul kitab Yahudi dan Nasrani yang diungkap dalam ayat ini terkait posisi sosial Nabi dan sahabatnya di Madinah. Abdullah bin Ubai merasa tersaingi popularitasnya, lalu menyulut kebencian Yahudi dan Nasrani dengan isu rasial. “Kebebasan kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah telah diusik dan dikontrol oleh Muhammad, pendatang baru,” demikian isu yang dikembangkan kaum munafik. Karena itu, kata mereka lagi, “Kita usir Muhamad dan sahabatnya dari Madinah.”
Apabila kita menengok kondisi politik Indonesia sejak orla, orba, dan orde reformasi sekarang ini, persis seperti konspirasi munafik dan ahli kitab yang ingin memerangi dan mengusir kaum Muslim dari Madinah.
Provokasi munafikin
Orang-orang munafik, yang lahirnya beragama Islam, mereka shalat, puasa, haji, dan mengerjakan amaliyah lainnya, memprovokasi kaum kuffar Nasrani supaya menolak berlakunya syariat Islam di lembaga negara dengan isu sektarian.
Kaum nasionalis sekuler berkata, “Sejarah Nusantara membuktikan, dulu sebelum Islam datang sudah ada agama lain. Tapi sekarang orang-orang Islam menuntut berlakunya Syariat Islam. Karena itu kita harus mempertahankan budaya kita, membiarkan semua agama dan ideologi bebas berkembang, tidak ada istilah mayoritas dan minoritas”. Mereka juga beragitasi, “Sebelum Islam dominan, kita bebas berpakaian apa saja, menyembah siapa saja, tapi sekarang kita jadi saling bermusuhan.”
Provokasi seperti inilah yang memicu kebencian pada Islam. Ketika para munafikin yang bersembunyi di balik ideologi nasionalisme, gemar menghidupkan tradisi dan budaya musyrik. Di zaman orla, pendukung nasakom datang dari partai berbendera Islam. Pada masa orba, yang terdepan mendukung asas tunggal pancasila justru dari kaum ulama yang disponsori MUI. Dan sekarang di masa reformasi muncul partai-partai berbasis Islam, tapi kosong dari akhlak Islam, bahkan terdepan dalam menolak syariat Islam di lembaga negara.
Mengapa orang seperti Ahok, dengan ucapan dan prilakunya yang keji berani muncul di negeri ini? Karena adanya dukungan dari orang Islam munafik, baik yang ada di partai, birokrasi ataupun individu tokoh ormas. Di zaman Nabi, dukungan orang munafiklah yang memicu keberanian Yahudi dan Nasrani untuk memerangi umat Islam. Padahal dukungan mereka hanya palsu.
“Ketika kaum Yahudi Bani Nadhir diusir dari Madinah, ternyata orang-orang munafik tidak keluar bersama mereka. Sekiranya kaum Yahudi Bani Nadhir itu diperangi, maka orang-orang munafik itu tidak akan membantunya. Jika orang-orang munafik membantu kaum Yahudi Bani Nadhir, niscaya mereka akan lari terbirit-birit. Kemudian orang-orang munafik itu tidak akan mendapatkan seorang pun yang menolong mereka untuk menghadapi pasukan mukmin.” (QS Al-Hasyr (59) : 12)
Berani melawan kezaliman
“Wahai kaum mukmin, kalian lebih ditakuti oleh orang-orang munafik daripada Allah. Demikian itu karena orang-orang munafik adalah orang-orang yang tidak memahami beratnya adzab Allah di akhirat.” (QS Al-Hasyr (59) : 13)
Di antara kelemahan umat Islam, kita suka berkerumun mengumpulkan massa, tapi tidak bisa membangun jaringan dan kerjasama intensif sesama Muslim. Selain itu, umat Islam cepat marah menyaksikan kemungkaran, tapi tidak mampu melakukan perlawanan. Selama bertahun-tahun nasib umat Islam dipermainkan oleh kekuasaan sekuler, kaum Muslim dizalimi, diintimidasi, disebabkan umat Islam tidak berani melakukan perlawanan hukum dan politik. Tapi perhatikan, kasus kezaliman Densus 88 terhadap Siyono contohnya. Ketika Muhammadiyah berani melakukan perlawanan hukum yang dipelopori Busyro Muqaddas, melakukan otopsi terhadap jenazah Siyono dikawal 1500 anggota Kokam, penguasa cq aparat kepolisian berubah sikap. Sebab, polisi sadar, membuka konfrontasi dengan Muhammadiyah yang memiliki puluhan ribu Kokam dan ratusan ribu pesilat tapak suci, bisa berakibat panjang. Sekiranya keberanian membela kebenaran dan melawan kezaliman dari ormas Islam tidak datang terlambat, mungkin nasib umat Islam tidak setragis sekarang. Ditipu kaum munafik, dan dikroyok kaum kuffar, komunis, penyembah berhala, bahkan Syi’ah.
Inilah salah satu bukti kebenaran ayat di atas, bahwa orang-orang munafik lebih takut kepada hamba Allah yang berani melawan ketimbang takutnya kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala. Mereka tidak peduli dengan perintah, larangan bahkan murka Allah. Tapi mereka takut pada kemarahan umat Islam yang berani berjihad melawan kezaliman. Bukan umat Islam yang mau diadu domba lawan. Oleh karena itu, kunci mengalahkan provokasi munafikin, harus ada kekuatan mujahid yang mereka takuti. Persekongkolan antara kaum munafik dan kaum kuffar akan berhasil disaat umat Islam lemah. Wahai kaum mukmin, bersatulah membela kebenaran dan melawan kezaliman. Umat Islam hendaknya mampu membangun kekuatan di tengah perselisihan umat berlandaskan syariat Islam.
Serial Kajian malam Jum’at (14/4/2016 di Masjid Raya Ar Rasul, Yogyakarta.
Narsum: Amir Majelis Mujahidin, Al Ustdz Muhammad Thalib
Notulen: Irfan S Awwas
(*/arrahmah.com)