WASHINGTON (Arrahmah.com) – Tidak semua muslim (terutama muslim ‘militan’) yang melihat modernisasi sebagai ancaman karena banyak dari mereka yang sangat kompeten dalam menggunakan teknik modern, Senat AS mengumumkan.
Pada sidang khusus Komite Senat Angkatan Bersenjata yang membahas ‘ekstremisme’ pada hari Rabu (10/3) malam, para ahli mengatakan kepada para anggota legislatif bahwa “Sementara para ‘militan’ memandang westernisasi sebagai ancaman, sebetulnya mereka tidak menolak modernisasi.”
“Westernisasi adalah sebuah ancaman? Jawabannya adalah ya. Apakah modernisasi ancaman? Jawabannya bukan. Banyak..banyak..banyak dari orang-orang ini (orang-orang yang AS anggap sebagai kelompok ‘militan’) yang sangat kompeten dalam memanfaatkan teknologi modern,” kata Douglas Stone, seorang jenderal Marinir yang telah bertugas di Irak, Afghanistan dan Pakistan.
Stone, yang mengklaim mahir berbicara dalam bahasa Arab, Pashto, dan Urdu ini mengamati bahwa yang menyebabkan para ‘militan’ melawan Barat adalah perbedaan antara dua pandangan dunia.
‘Militan’, kata Stone, tidak percaya pada pemisahan agama dan negara, sementara di Barat, kedua lembaga ini telah dipisahkan.
Untuk mengatasi masalah ini, Stone menyarankan keterlibatan yang lebih besar dengan komunitas Muslim di seluruh dunia karena informasi tersebut akan menjadi salah satu senjata pertahanan AS.
“Kita perlu strategi yang komprehensif yang berfungsi optimal, dan strategi melawan ekstremisme yang saat ini muncul dengan berbagai bentuk,” kata Senator Bill Nelson, ketua komite.
Stone melihat bahwa ancaman sesungguhnya adalah ‘ekstremis’ yang berusaha untuk mengubah “umat” (masyarakat) dan menekankan kebutuhan untuk mengajak para muslim ‘biasa’ untuk memenangkan perang ini.
Dalam perang ideologis ini, katanya, “Muslim yang mengusung aktivitas non-kekerasan harus diarahkan untuk memperoleh kekuatan mereka dan pemerintah kita perlu memfasilitasi agar mereka diberi kewenangan dan penyebab munculnya kekerasan di antara mereka harus dipinggirkan.”
Dr Scott Atran, seorang profesor antropologi dan psikologi yang telah berhubungan secara ekstensif dengan militan di Pakistan dan Timur Tengah, memperingatkan bahwa Amerika terpaku pada teknologi dan kesuksesan, dan memperingatkan jika AS masih tetap bersikap seperti itu (tidak melakukan pendekatan yang lebih ‘lembut’) maka AS tidak akan memenangkan perang ini.
“Kita menghabiskan miliaran dolar untuk segala macam peralatan namun sangat sedikit menekankan pada ‘kepekaan sosial’ yang melibatkan mereka, bagaimana untuk meningkatkan keuntungan non-militer, cara meningkatkan hubungan, dan bagaimana mengubah persepsi,” dia berkata.
Dr. Atran juga menyesali bagaimana orang-orang di Amerika Serikat menegaskan bahwa ‘militan’ adalah mereka yang menjadi korban ‘cuci otak’ dan perekrutan.
“Maksud saya, tidak ada yang lebih menegangkan, penuh petualangan, dan mulia daripada melawan kekuatan terbesar di dunia saat ini, dan jihad adalah kesempatan yang sama yang setiap orang dapat melakukannya.”
Garry Reid, deputi asisten menteri pertahanan AS untuk operasi khusus dan memerangi terorisme, mengatakan Pentagon mengakui bahwa AS tidak bisa menangkap dan membahayakan jalannya untuk memperoleh kemenangan.
Di Irak dan Afghanistan, Departemen Pertahanan AS peran adalah menciptakan kemampuan aparat keamanan untuk mengizinkan kontra-ideologi ini inisiatif dan upaya untuk berakar.
Di tempat lain, ia menambahkan, Pentagon sedang bekerja dengan Departemen Luar Negeri untuk memerangi ideologi ‘kekerasan’.
Daniel Benjamin, koordinator kontraterorisme, di Departemen Luar Negeri, mengatakan kepada panel bahwa ia percaya AS telah melakukan pekerjaan yang besar dalam agenda kontraterorisme secara taktis, dengan mengambil siapapun dari jalan jihad dan menjaga mereka agar tidak lagi merugikan orang lain. Dan sekarang AS sudah fokus pada mengurangi pengaruh militan dan mencegah perekrutan lebih lanjut, ia menambahkan.
“Sesuatu yang mutlak penting bahwa kita melakukan apa yang kita dapat untuk meruntuhkan pengaruh al-Qaidah dan mencegah radikalisasi individu,” katanya.
Tujuan utama melawan kekerasan ekstremisme, kata Benjamin, adalah untuk menghentikan orang-orang yang paling beresiko terkena radikalisasi agar menjadi teroris.
Dia menggarisbawahi berbagai pendekatan yang berbeda agar AS dapat terus menancapkan hegemoninya dan melancarkan agenda perang melawan terornya, termasuk program-program sosial, inisiatif kontra-ideologi, bekerja dengan masyarakat sipil untuk menentang ide-ide dan narasi al-Qaidah, serta, jika mungkin, menyediakan alternatif pemikiran lain yang lebih ‘positif’. (althaf/dawn/arrahmah.com)