JAKARTA (Arrahmah.com) – Konferensi Media Islam Internasional (KMII) ke-2 yang diadakan di Jakarta, 12 – 16 Desember berlangsung semarak. Sekitar 400 wartawan dari berbagai negara dijadwalkan hadir untuk membahas langsung apa dan bagaimana media Islam. Beberapa pakar sengaja dihadirkan untuk membicarakan masalah media Islam. Begitu banyak harapan dan keinginan terlontar dari para peserta. Sayangnya, konferensi ini dianggap belum mewakili media Islam dan tidak jelas tujuannya. Ke mana sebenarnya arah konferensi media Islam ini?
Harapan besar untuk media Islam
Konferensi Media Islam Internasional (KMII) kembali digelar di Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Sekjen Kementerian Agama, Bahrul Hayat, sebagai penyelenggara mengatakan bahwa konferensi dimaksud untuk membahas kompetensi dan pengaruh media saat ini.
“Beberapa hal yang akan dibahas pada konferensi ini antara lain tentang kompetensi dan pengaruh media saat ini.”
Selain itu juga dibahas mengenai kerjasama dan hubungan yang saling menguntungkan antarmedia Islam di Dunia Muslim, mendiskusikan media Islam yang bisa diterima oleh semua pihak, mendialogkan media Islam dengan non Islam dan mencoba mencari solusi praktis untuk mempromosikan media Islam.
Sementara itu perwakilan dari Rabithah Islam Internasional (Liga Muslim Dunia) Hasan Al-Ahdal berharap KMII ke-2 mampu menghasilkan banyak hal yang bermanfaat, khususnya bagi dunia Muslim, terkait dengan media dan pemberitaannya.
“Konferensi ini, semoga mampu menguatkan kerjasama dan hubungan antar kita umat Islam, selain itu, juga terjadi penguatan-penguatan peran Media Islam, terutama di negara-negara mayoritas Islam, katanya.
Sayangnya, hingga hari kedua konferensi, Selasa (13/12/2011) belum tampak jelas apa yang dimaksud dengan media Islam, fungsi dan perannya untuk ummat Islam. Bahkan, beberapa media Islam tidak merasa mewakili dan turut serta dalam konferensi tersebut, kecuali datang hanya untuk sekedar meliput. Ironis!
Haruskah media Islam berpihak?
Pada sesi pertama, Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul Sembiring mengimbau media-media Islam untuk selalu bekerjasama yang dengan demikian akan memberikan manfaat bagi umat di penjuru dunia. Selanjutnya makalah demi makalah disampaikan oleh beberapa pakar yang khusus dihadirkan pada konferensi bertaraf internasional tersebut.
Di sesi berikutnya, setelah pemaparan para pakar, beberapa peserta bertanya dan menyampaikan harapannya. Salah satu penanya dari Palembang meminta kejelasan tentang apa atau siapa yang dimaksud dengan media Islam, termasuk karateristiknya. Lalu apa beda antara media Islam dengan media barat? Penanya juga menyayangkan acara konferensi yang tidak konkrit mendisain dan menjelaskan apa itu media Islam.
Penanya lain secara lebih tegas meminta kepada para pembicara untuk mengeluarkan resolusi kongkrit setelah acara. Misalnya dengan membentuk kantor berita Islam, seperti CNN yang dimiliki barat. Sayangnya, semua pembicara tidak menjawab jelas dan tegas usulan dan harapan para peserta tersebut, kecuali hanya normatif saja.
Di sesi konferensi pers, dibuka pertanyaan-pertanyaan dan dialog yang khusus ditujukan kepada para wartawan. Para jurnalis ini pun dengan antusias mengeluarkan seluruh pertanyaan dan harapan-harapan mereka kepada panitia konferensi media Islam Internasional ke-2 tersebut.
Salah satu yang mengemuka adalah soal keberpihakan media Islam, termasuk kepada para mujahidin yang saat ini sedang berjuang mempertahankan Islam dan merebut hak-hak mereka yang dirampas kaum kafir. Karena, selain bersikap tabayyun (cek dan ricek) terhadap setiap informasi, jurnalis atau media Islam sudah seharusnya memiliki keberpihakan dan komitemen yang tinggi kepada ummat Islam, termasuk kepada para mujahidin. Kalau tidak berpihak kepada mereka, maka kepada siapa media Islam akan berpihak?
Wallahu’alam bis showab!
(M Fachry/arrahmah.com)