BRUSSELS (Arrahmah.com) – Kampanye anti-terorisme yang hanya tergantung pada militer selama lebih dari satu dekade ini dinilai gagal. Pendekatan semacam itu dinilai justru lebih memicu semakin banyaknya ancaman teror.
Oleh karena itulah, beberapa pihak yang berkepentingan dalam permainan perang melawan teror ini menggantungkan harapannya pada dua konferensi yang diadakan pada 27 dan 28 Januari di London untuk mencari cara membalikkan tren.
Konferensi ini terfokus pada Afghanistan dan Yaman. Afghanistan merupakan tempat di mana Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya berdalih memerangi al-Qaidah dan Taliban. Sementara Yaman dibahas setelah insiden Detroit yang dituduhkan AS pada pemuda asal Nigeria yang telah dilatih oleh kelompok yang berafiliasi dengan al Qaidah.
Upaya AS dan sekutu-sekutunya untuk merancang upaya-upaya anti-terorisme sejak 11 September hampir sembilan tahun lalu dinilai tidak menyertakan ‘teroris’ yang menyusup ke negara-negara tetangga dan daerah-daerah lainnya dari Afghanistan yang kemudian menemukan jalan untuk masuk ke Yaman, Jazirah Arab.
Ketergantungan yang berlebihan pada kekuatan militer ini, sebagaimana dikutip oleh Xinhuanet telah gagal, karena justru yang terjadi adalah hal itu hanya menumbuhsuburkan kebencian dan sentimen anti Amerika Serikat di berbagai negara dan wilayah.
Beberapa analis telah mengaitkan kegagalan usaha anti-terorisme ini dengan usaha-usaha AS untuk melaksanakan strategi globalnya sendiri.
Realitas ini pun ternyata mengecewakan para sekutunya yang menganggap bahwa kebijakan yang selama ini dikeluarkan oleh AS merupakan kebijakan penyesuaian (disesuaikan dengan kepentingan strategisnya).
Di samping melalui serangan-serangan militer, Amerika juga mencoba untuk merebut hati dan pikiran masyarakat lokal di negara-negara tempat mereka berperang.
AS memutuskan untuk meningkatkan bantuan sipil bersamaan dengan dikirimkannya 30.000 pasukan tambahan ke Afganistan, dengan harapan akan memikat para mujahidin untuk meletakkan senjata dengan memberikan alternatif mata pencaharian bagi mereka.
Menteri Luar Negeri AS, Hillary Rodham Clinton, juga menegaskan hal serupa mengenai Yaman.
“Tantangan Yaman tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan tindakan militer saja. Kemajuan terhadap kekerasan ekstremis … akan juga tergantung pada usaha-usaha lain (seperti yang dipersiapkannya di Afghanistan).”
Menggarisbawahi pentingnya mendorong pembangunan sosial dan ekonomi dalam agenda perang anti-terorisme ini sama sekali berbeda dengan gaya kontra-terorisme era Bush.
Konferensi London mengenai Afghanistan tidak hanya membahas mengenai tindakan militer terhadap Taliban dan kelompok-kelompok yang mengancam AS lainnya. Konferensi ini juga membahas tentang rekonstruksi negara, pembangunan ekonomi dan pemerintahan yang baik bagi Afghanistan.
Raja Yordania, Abdullah II, mengamini agenda negara adidaya dan sepakat dengan urgensi memberikan upaya-upaya yang akan mencegah tersebarnya bibit-bibit terorisme dalam bingkai kampanye kontra-terorisme global kampanye. (althaf/xnh/arrahmah.com)