JAKARTA (Arrahmah.com) – Untuk menandingi komunitas anak muda #IndonesiatanpaJIL, kelompok liberal membuat komunitas #bedaIsMe. Maksud hati ingin tampil beda, tapi terjebak dalam keyakinan yang melecehkan Islam.
Perbedaan adalah sunatullah. Pluralitas adalah keniscayaan. Namun, perbedaan dan keragamaan bukan ditonjolkan dengan cara merusak dan melecehkan keyakinan kelompok lain. Islam menghargai perbedaan, selama perbedaan itu saling menghormati keyakinan masing-masing, dan selama perbedaan itu tidak melanggar aturan-aturan hukum yang ada.
Islam menghargai pluralitas, tapi menolak pluralisme. Inilah yang tidak bisa dipahami oleh kelompok liberal. Mereka selalu berkoar-koar menyatakan bahwa negara kita menjamin kebebasan beragama. Benar memang, Undang-Undang Dasar 1945 menjamin “kebebasan beragama”, tapi bukan kebebasan “mengacak-acak agama”.
Untuk mengampanyekan komunitas #bedaIsMe, kelompok liberal mengadakan Apel Akbar Aksi Cinta Indonesia. Sungguh menggelikan, meski namanya “Apel Akbar”, namun peserta yang datang hanya segelintir saja, berbeda dengan Apel Akbar yang seringkali digalang oleh umat Islam yang dihadiri oleh ribuan, puluhan ribu bahkan ratusan ribu massa. Dalam Apel Akbar Aksi Cinta Indonesia yang dihadiri oleh beragam kelompok lintas agama dan keyakinan itu, mereka mengusung tema “Aksi Solidaritas Korban Kekerasan Atas Nama Agama”. Aksi dilakukan di depan istana negara, Ahad (10/6/2012).
Selain para aktivis liberal, aksi segelintir orang itu juga dihadiri oleh penganut Ahmadiyah, Syiah, Komnas Perempuan, aktivis gereja ilegal Bekasi, GKI Yasmin Bogor, dan Aceh Singkil, seniman liberal dan kekiri-kirian seperti Hanung Bramantyo, dan tak ketinggalan istri dari mendiang Gus Dur, Sinta Nuriyah. “Pemerintah harus tegas pada pelaku tindak kekerasan dan intoleransi atas nama agama,” tegas Tantowi, koordinator aksi komunitas #bedaIsMe.
Mengatasnamakan Pancasila, komunitas ini menyebut aksi mereka sebagai upaya menjaga keragaman, kebebasan, dan toleransi. Berdirinya komunitas #bedaIsMe, menurut mereka, dilatarbelakangi oleh maraknya berbagai aksi kekerasan, seperti penyerangan terhadap diskusi yang dilakukan oleh lesbi-liberal Irshad Manji, pelarangan konser Ratu Illuminati dan pemuja setan, Lady Gaga, dan penyerangan yang terjadi terhadap sekte Syiah di Pamekasan, Madura, serta penyerangan terhadap kelompok penoda Islam, Ahmadiyah. “Peristiwa-peristiwa itu ada unsur gagal dan ada unsur membiarkan (oleh pemerintah,red),” kata Alissa Qatrunnada, putri mendiang Gus Dur.
Selain keluarga besar Gus Dur, demo kecil-kecilan yang diselenggarakan di depan istana negara itu juga menghadirkan beberapa tokoh yang selama ini memiliki jejak rekam membela aliran-aliran yang menyimpang. Nama-nama seperti Eva Sundari (anggota DPR-RI dari PDIP), Maman Imanul Haq (aktivis AKKBB), dan Siti Musdah Mulia tercatat sebagai orang yang memberikan orasi. Acara ditutup dengan doa lintas iman, sebagaimana ritual yang seringkali mereka lakukan dalam berbagai acara.
Untuk menarik minat anak muda agar bergabung dalam komunitas #bedaIsMe, Ahad sorenya mereka menggelar berbagai pentas seni dan pemutaran film karya sutradara liberal, Hanung Bramantyo. Acara yang dilangsungkan di Taman Ismail Marzuki itu menghadirkan konser bertajuk #bedaIsMe Diversity Concert: Tribute to Victim of Religious Violence, dengan menghadirkan artis-artis dan grup musik, seperti Melanie Subono, Zaskia Adya Mecca, Superman Is Dead, Jogja Hip-Hop Foundation, Marjinal, Kill the DJ, dan para little monster alias fans berat Lady Gaga.
Dalam pentas seni malam itu, Hanung Bramantyo memutar film pendek berjudul “Romi dan Yuli dari Cikeusik”. Film yang dibuat berdasarkan esai puisi yang ditulis oleh Denny JA (pendiri Lingkar Survey Indonesia) ini menceritakan tentang kisah kasih antara penganut Ahmadiyah dan putri dari seorang tokoh garis keras. Film yang diperankan oleh Ben Kasyafani dan Zaskia Adya Mecca ini sarat dengan propaganda membela Ahmadiyah dan citra buruk terhadap umat Islam. Seperti ingin meledek umat Islam yang menolak Lady Gaga, acara pentas seni malam itu juga diisi dengan flashmob (tarian ala Lady Gaga) yang dilakukan oleh para little monster.
Aksi demo komunits #bedaIsMe seperti ingin menyambut propaganda busuk Baratyang menyebut Indonesia sebagai negeri yang tidak toleran. Kelompok yang mengalami disorientasi dalam beragama ini seperti menari-nari di atas tabuhan genderang Barat yang memang memiliki kepentingan untuk memasarkan produk-produk sekular-liberal mereka. Demonstrasi yang mereka lakukan semakin menguatkan dugaan, bahwa merekalah yang selama ini menjelek-jelekkan pemerintah Indonesia kepada dunia internasional.
Padahal, kalau mereka mau membuka mata dan menggunakan akal sehat, di negara-negara Eropa-lah pelanggaran terhadap kebebasan beragama seringkali terjadi dan menimpa umat Islam. Di Jerman misalnya, seorang Muslimah berjilbab dibunuh di dalam ruang pengadilan, di depan majelis hakim yang katanya terhormat. Di Prancis, Muslimah yang mengenakan cadar mendapat cemoohan dan intimidasi. Di Swiss, menara masjid dilarang. Di Amerika, rencana pembangunan masjid mendapat teror dan vandalisme. Di Denmark, seorang kartunis melecehkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Fakta-fakta itu hanya sebagian saja yang diungkap oleh media massa. Jadi, kalau kelompok liberal di Indonesia mengadu ke lembaga-lembaga di Eropa, itu sama saja bercermin pada air comberan!
Artawijaya – Salam-online.com
(saif al battar/arrahmah.com)