YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Paham komunis kian bercokol di Bumi Pertiwi. Jika dahulu mereka terang-terangan membuat partai (PKI), kini mereka berlihai-lihai memasang kedok agama liberal untuk operasinya.
Berikut ulasan Ustadz Muhammad Thalib mengenai sepak terjang komunis dalam menggunakan kendaraan agama liberal guna memporak-porandakan Indonesia, pada Risalah Mujahidin, Jum’at (3/7/2015). Bismillah.
Pada dekade 80-an terjadi kehebohan di Amerika Serikat. Ketika itu muncul sekte Kristen dengan label Children of God. Sekte ini mempunyai doktrin bahwa setiap orang Kristen adalah anak Tuhan, bukan hanya Yesus saja. Mereka juga menolak otoritas kependetaan yang memberikan sakramen dan doktrin penebusan dosa.
Children of God (COG) sempat berganti nama menjadi Family of Loves (Keluarga Kasih), adalah sebuah gerakan agama sesat yang dimulai pada 1968 di Huntington Beach, California, Amerika Serikat. Gerakan ini adalah bagian dari Jesus Movement (Gerakan Yesus) pada akhir tahun 1960-an. Sebagian besar anggotanya berasal dari gerakan hippie, yaitu salah satu sekte dari banyak sekte pelaku seks bebas dan pengguna narkoba di Amerika dan Eropa.
Pada 1974, sekte ini mulai bereksperimen dengan metode penginjilan yang disebut Menjala dengan Lirikan (Flirty Fishing) dengan mengobral seks untuk menggaet pendukung dan anggota baru. Sebagaimana halnya Syi’ah yang menggunakan mut’ah untuk mencari pengikut. Sekte ini mengembangkan dokktrinnya dengan kebebasan tanpa kendali, termasuk kebebasan seks (kumpul kebo).
Belakangan diketahui bahwa yang membidani sekte Children of God adalah seorang komunis Amerika Serikat bernama David Berg. Sekte Children of God digunakan agar tetap eksis secara terbuka, karena Komunisme dilarang di Amerika. Sekte sesat dan cabul ini pernah muncul di Jakarta dan Bandung pada era 1980-an. Konon masih aktif dan berpindah-pindah tempat sampai sekarang.
Komunis di balik Liberalisme
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pernah mengklaim beranggota 15 juta orang, dan pada Pemilu 1955 menjadi partai ke empat di Indonesia, yang berantakan setelah terjadinya gerakan 30 September 1965, tidak ingin terkubur mati begitu saja. Namun peristiwa biadab G30S PKI, mengundang kebencian rakyat Indonesia, maka rezim orde baru pimpinan Jenderal Soeharto membubarkan PKI dan melarang segenap aktivitasnya di seluruh wilayah Indonesia.
Apakah pembubaran dan pelarangan ini, lalu PKI menyatakan takluk? Ternyata tidak. Sekalipun puluhan ribu para pengikut PKI yang dipenjarakan di masa orde baru, tapi anak keturunan mereka tetap mengembangkan jaringan agar tidak terkubur sia-sia di Nusantara ini. Bahkan ada yang tampil terbuka menyatakan, “Saya bangga jadi anak PKI”.
Dalam menghadapi situasi yang serba sulit dan bermusuhan di Indonesia, mereka menggunakan politik akal bulus; berlindung di balik kegiatan spiritual ataupun keagamaan. Lahirnya mereka bergabung dengan Islam atau Kristen atau kelompok-kelompok kebatinan, tapi sebenarnya mereka mempunyai agenda sendiri yang menyimpang dari ajaran agama-agama tersebut. Bahkan mereka juga membaur melalui ormas atau partai politik tertentu.
Komunis dengan mudah menjadi Islam, sorenya jadi Kristen, besok paginya jadi Buddha. Mereka enjoysaja, karena mereka tidak percaya Tuhan. Luarnya menampakkan aktifitas spiritual keagamaan, sekadar kamuflase menghindari kecurigaan masyarakat. Tapi sebenarnya mereka adalah atheis sejati.
Untuk menjaga eksistensi ideologi, agar aktifitas mereka tidak terpantau masyarakat, mereka mencoba berimprovisasi berkedok liberalisme atau ‘agama liberal’. Agama liberal maksudnya, cara hidup yang bertuhan pada hawa nafsu, yang tidak terikat dengan semua ajaran agama. Semboyan mereka, “Bebas beragama dan bebas tidak beragama. Itu hak asasi”.
Di Indonesia, kehadiran ‘agama liberal’ ini, tidak lepas dari upaya PKI untuk meninggalkan pengalaman pahit dan penuh tindakan sadisme setelah gagalnya G30S PKI. Secara normatif ‘agama liberal’ yang mereka ciptakan ini untuk memenuhi tuntutan rasa aman dan memberikan citra kesantrian, sehingga selamat dari kecurigaan dan pengawasan masyarakat serta aparat keamanan.
Sekalipun para ‘mantan’ keluarga komunis ini melakukan ritual-ritual keagamaan bersama dengan masyarakat sekitarnya, namun mereka juga menggeluti dunia magis (perdukunan). Dengan mencampur adukkan ritual keagamaan dan perilaku magis para keluarga komunis ini berharap dapat diterima oleh masyarakat dan memperoleh kembali kedudukannya secara wajar.
Namun mereka berhadapan dengan kesulitan besar untuk melangsungkan kehidupan di bidang ekonomi, karenanya mereka berupaya mencari jalan pintas. Sebab lapangan usaha yang halal, seperti jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau melakukan usaha-usaha yang memerlukan perizinan pemerintah sangat sulit. Lalu mereka memilih cara-cara yang oleh agama diharamkan, tetapi secara materi dengan cepat dapat meraup duit banyak.
Bagi keluarga-keluarga komunis persoalan halal haram, jahat atau keji, busuk dan buruk adalah soal persepsi, bukan hal yang prinsip. Tidak penting cara mendapatkan kekayaan selama hal itu dapat memberikan kebanggaan dan harta yang banyak. Cibiran masyarakat tidaklah membuat mereka malu, tetapi justru dengan keberanian mereka menanggalkan norma-norma keagamaan dan nilai kemasyarakatan, lama-kelamaan membuat masyarakat itu sendiri berubah pandangan.
Oleh karena itu mereka mencari jalan aman dengan menampakkan diri aktif pada kegiatan yang bersifat kesantrian, tetapi tetap menggeluti usaha-usaha haram seperti pelacuran (prostitusi), perdagangan miras, perjudian.
Sekitar tahun 1983 pernah dilakukan penelitian di beberapa desa yang dahulunya basis PKI di suatu Kabupaten di Jawa Timur, didapati kenyataan bahwa orang-orang yang terikat hubungan suami istri juga menggeluti dunia prostitusi sebagai mata pencaharian. Bahkan si suami dengan enjoy saja mengantarkan istrinya untuk menjajakan diri sebagai pelacur. Anehnya, kaum perempuan di desa tersebut merasa bangga disebut PSK (Pelaku Seks Komersial), lantaran hal ini dapat memberikan jalan pintas memenuhi kebutuhan ekonomi.
Ketika masyarakat melihat orang-orang yang berkecimpung di dunia prostitusi dapat menggaet kekayaan dengan gampang, status mereka pun menjadi merubah. Masyarakat yang semakin lama jauh dari agama justru memberikan rangsangan kepada mereka untuk secara terus terang membuka usaha-usaha prostitusi di pinggir-pinggir jalan. Keberanian kaum komunis Indonesia melakukan penistaan simbol-simbol agama bukan hanya membuat mereka enjoy melakukan segala bentuk kemaksiatan, bahkan mereka juga mendapatkan sumber dana yang besar untuk kegiatan PKI di bawah tanah.
Melalui kegiatan haram ini mereka dapat meluluhkan kalangan pejabat dalam mengawasi kebangkitan komunis. Bahkan mereka juga tidak segan-segan untuk tetap menampilkan perilaku kesantrian seperti semaan Qur’an, majelis dzikir, shalawatan, kelompok doa dan sebagainya. Dengan menggabungkan berbagai kegiatan yang kontroversial ini, PKI dapat menciptakan Agama Liberal yang memberikan peluang kepada generasi muda masuk ke dalam jebakannya.
Lenin Indonesia
Kini, mereka memanfaatkan pemerintahan baru pasca SBY. Apalagi, jauh sebelum dilantik menjadi Presiden RI, 20 Oktober 2014, Presiden Joko Widodo yang lebih populer dipanggil Jokowi; dicurigai banyak pihak mempunyai kaitan dengan komunis bawah tanah. Kecurigaan ini dibuktikan dengan visi-misi pemerintahan yang diajukan ke KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang seratus persen menjiplak konsep Partai Komunis China atau RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dalam pembangunan negara.
Mungkin saja, obsesi politik untuk menjadi ‘Lenin Indonesia’ menghidupkan cikal bakal budaya komunis di Asia Tenggara. Diilhami masa-masa kejayaan Lenin 1917, dengan negara adi daya Uni Soviet yang gulung tikar di tangan Presiden Gorbachev, 1989, nampaknya mengendalikan orientasi pemerintahan baru reformasi. Atau, sebuah mimpi melunasi dendam Muso maupun DN Aidit yang terbunuh dalam aksi pemberontakan menggulingkan pemerintahan yang sah di Indonesia?
Rakyat Indonesia harus menyadari bahaya ini, dan tidak melupakan akibat buruk pemberontakan G 30 S PKI. Rakyat Indonesia jangan lengah untuk ketiga kalinya, setelah terbantainya sejumlah jenderal AD tahun 1965.
Di tahun 2015, pemerintahan Jokowi mengarahkan pembangunan infrastruktur skala besar di bidang maritim, transportasi darat dan pertanian. Pembangunan di tiga bidang ini sepintas menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Tapi hendaknya diwaspadai target tersembunyi program pencarian dana raksasa dari proyek tersebut, yang akan dikelola oleh para taipan, dan kelak dialirkan ke perjuangan kebangkitan komunis di Indonesia.
Setelah 50 tahun peristiwa G30S PKI berlalu, kita baru menyadari bahwa PKI tetap eksis dan kalangan pemerintah serta kaum muslimin merasa rumahnya dilanda kebakaran. Dampak dari meluasnya bisnis prostitusi, muncullah free sex di kalangan remaja, sehingga menciptakan pasar yang sangat besar bagi produk-produk anti kehamilan, keluarga berencana, kelangsingan tubuh, operasi kecantikan dan tempat-tempat kebugaran. Secara sepintas hal-hal tersebut tidak secara langsung tampak sebagai usaha pelayanan terhadap agama liberal yang dibidani oleh partai komunis, karena hal-hal tersebut dilakukan secara terbuka.
Akan tetapi orang-orang yang menyadari bahaya moral dan mental keagamaan dari hal-hal tersebut dapat melihat hubungan kausalitas dengan perjuangan komunis di Indonesia untuk bangkit kembali. Hal ini dapat disembunyikan oleh kaum komunis karena bersamaan waktu dengan sosialisasi penataran P4 yang juga memarginalkan peranan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Begitulah gambaran agama liberal produk komunis di Indonesia, sebuah agama yang memanjakan penghambaan kepada seks, uang, hedonisme dan gemerlapnya materi. Bagi mereka yang penting: uang, perut dan yang di bawah perutnya (seks).
Realitas ini mengungkapkan kebenaran firman Allah Swt, “Wahai Muhammad, apa pendapatmu tentang orang yang mempertuhankan hawa nafsunya? Allah menyesatkan orang yang mempertuhankan hawa nafsunya. Allah memateri pendengaran mereka, hati mereka, dan memasang tabir di depan penglihatan mereka. Karena itu, siapakah yang dapat memberikan petunjuk kepada mereka selain Allah? Mengapa orang-orang kafir itu tidak mau berfikir?” (Qs. Al-Jatsiyah [45]: 23)
(adibahasan/arrahmah.com)