JAKARTA (Arrahmah.com) – Tim penyelidikan Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dinilai sudah terbiasa melakukan politik kambing hitam. Mereka melakukannya dengan memberi cap separatis atau teroris pada kelompok-kelompok tertentu atas nama hukum dan keadilan sosial.
Hal itu dikemukakan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Saharudin Daming, saat berbicara dalam Diskusi “Mengungkap Investigasi Kasus Medan”, Kamis (18/11/2010) di Wisma Antara, Jakarta Pusat. Hadir pula dalam acara tersebut, antara lain Achmad Michdan (Tim Pengacara Muslim), Ustadz Sonhadi (Juru Bicara Jamaah Ansharut Tauhid) dan Harris Abu Ulya (Tim Investigator Kasus Medan). Sementara, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi yang turut diundang ternyata tidak datang hingga acara usai.
Saharudin melanjutkan, serangan Densus 88 di sejumlah tempat yang seringkali langsung mengeksekusi mati seseorang yang diduga teroris dianggap sudah melanggar tiga hal. Pertama, pelanggaran asas prinsip hukum, khususnya asas praduga tak bersalah.
Kedua, pelanggaran HAM yang sangat berat. Dari semua operasi Densus 88, tidak tampak pertanggungjawaban mereka yang memadai. Ia mencontohkan, pemilik rumah sewa yang hancur lebur, indikasi psikologis/trauma, label ‘keluarga teroris’ dari masyarakat dan minimnya akses semua tahanan untuk dibesuk oleh keluarganya.
Ketiga, ada agitasi atau pelarangan dari sejumlah oknum Densus 88 pada seorang tokoh umat Islam untuk berdakwah di masjid tertentu. “Ada semacam upaya Densus 88 untuk menyebar kebencian terhadap umat Islam yang dilakukan secara sistemik,” kata Saharudin.
Saharudin mengaku, sudah lama warga masyarakat mengadukan masalah terorisme ke Komnas HAM. Akan tetapi, baru dalam sidang paripurna tahun 2010, lembaga negara yang menangani pembelaan terhadap HAM itu setuju membentuk tim investigasi tentang terorisme. “Prosesnya sudah jalan sejak September 2010 lalu. Kami berencana untuk mengumumkan hasil penyelidikan pada akhir bulan ini (November 2010),” ujarnya. (Kmps/arrahmah.com)