AMBON (Arrahmah.com) – Pasca kerusuhan berdarah di Desa Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Komnas HAM Perwakilian Maluku mengadakan jumpa pers, Senin (13/02). Komnas HAM Perwakilan Maluku menilai kerusuhan berdarah yang terjadi di Desa Pelauw merupakan kelalaian polisi kerena membiarkan masalah berkembang hingga jatuh korban.
Masalah adat atau rebutan Raja?
Koresponden Arrahmah.com melaporkan dari TKP, pasca kerusuhan berdarah di Desa Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Sabtu (11/02), Komnas HAM Perwakilan Maluku langsung mengadakan jumpa pers pada hari Senin (13/02). Pada jumpa pers tersebut, Komnas HAM Perwakilan Maluku menilai polisi lalai dan sengaja membiarkan masalah berkembang hingga jatuh korban.
Ketua Komnas HAM Perwakilan Maluku, Emmy Tahapary di Ambon mengatakan, sebelum pecah konflik yang mengakibatkan enam orang tewas dan empat orang dirawat di rumah sakit, serta puluhan orang mengalami luka-luka, pihaknya pada Rabu malam (08/02) dan Kamis pagi (09/02) telah menerima laporan adanya pertikaian di Desa itu.
“Mestinya kepolisian sudah bergerak sejak Kamis itu, bukan baru mengambil keputusan pada Sabtu (11/02). Kami melihat ada unsur pembiaran dalam kasus ini,” katanya.
Menurutnya, konflik yang terjadi di Pelauw dilatarbelakangi masalah adat dalam marga Salampessy. Dua kubu dalam marga itu berbeda pendapat soal peresmian rumah adat mereka.
Perbedaan tersebut mencapai klimaks pada Sabtu (11/02) dini hari saat dua kelompok itu saling berhadapan dengan senjata tajam, tombak dan bom rakitan hingga mengakibatkan enam orang tewas, empat orang dilarikan ke RSU Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah dan puluhan orang mengalami luka-luka.
Sementara itu, sebagaimana telah diberitakan sebelumnya, menurut Koresponden Arrahmah.com di TKP, di Desa Pelauw ada dua kubu yang sering disebut orang muka dan orang belakang . Adapun yang disebut orang muka, mereka masih percaya kepada kepemimpinan raja sekarang, yang bermarga Latuconsina.
Adapun, mereka yang sering disebut orang belakang, tidak setuju dengan kepemimpinan raja sekarang, yang menjabat seumur hidup. Mereka menghendaki raja harus dipilih. Sementara itu, dari marga Latuconsina, walaupun dia bukan keturunan raja, tapi itu tidak mungkin terjadi, karena raja sekarang adalah raja turun temurun.
Dari sinilah masalah kian panjang dan memanas, hingga akhirnya terjadi keributan diantara dua kubu tersebut, dan memakan korban jiwa dari kedua belah pihak. Kubu yang sering disebut sebagai orang belakang, berpindah ke kampung tetangga yang bernama Rohmoni dan kampug Kabauw.
Dibawa ke Komnas HAM Pusat dan dipantau
Menurut Ketua Komnas HAM Perwakilan Maluku, Emmy Tahapary pihaknya pernah membahas soal konflik Pelauw dalam pertemuan dengan Kapolda Maluku, Brigjen Polisi Syarif Gunawan pada 25 Januari lalu.
“Saat pertemuan dengan Kapolda itu kami telah mencoba menekankan konflik Pelauw menjadi perhatian serius. Tapi dengan adanya kejadian ini, sekali lagi, kami melihat ada unsur pembiaran,” katanya.
Ia pun meminta kepolisian bertindak tegas untuk penyelesaian kasus itu. Ia juga akan membawa isu masalah itu ke pusat agar menjadi perhatian nasional karena kepolisian punya kekuatan penuh untuk menindak dan mengambil alih situasi, bila tidak bisa terkendali karena satu keadaan di lapangan, misalnya adat.
Seorang Staf Komnas HAM Maluku, Linda Holle menambahkan, pihaknya sedang berpikir untuk melakukan pemantuan seperti yang dilakukan pasca konflik yang terjadi Maret 2011. Kala itu proses pemantauan Komnas HAM melibatkan beberapa pemuda dari dua kelompok yang bertikai, tergabung dalam Forum Pemuda Hatuwalapia.
“Kemungkinan besar proses pemantauan bisa kami lakukan di akhir Februari. Sebenarnya ada permintaan untuk dilakukan juga proses mediasi antarkedua belah pihak dan kami akan berupaya untuk itu dengan melibatkan masyarakat, unsur muspida dan muspika setempat,” ujarnya.
(Idham Tuasikal/arrahmah.com)