JAKARTA (Arrahmah.com) – Hingga kini stigma pelaku teror masih melekat pada diri Wiwin Kalahe, meski dirinya justru menjadi korban kekerasan yang dinilai telah dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88. Hal inilah yang harus dijaga oleh Mabes Polri untuk tidak asal menuding seorang individu sebagai teroris.
Pernyataan itu disampaikan oleh Anggota Komnas HAM yang juga Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana Terorisme, Siane Indriani, meminta pihak kepolisian tidak gegabah menuding Wiwin, korban penganiayaan dalam Video Kekerasan Poso sebagai seorang teroris.
“Kami mengimbau supaya hati-hati mengatakan kata-kata dan tuduhan-tuduhan itu. Kita tidak bisa melepaskan kejadian ini dengan konflik masa lalu yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan),” katanya di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Senin 18 Maret 2013.
Menurutnya, Wiwin bersama para korban lainnya merupakan bagian dari korban konflik masa lalu yang juga merasakan ketidakadilan. Menurutnya, kelompok tersebut akhirnya melakukan balas dendam karena merasa diperlakukan tidak adil.
“Di masa lalu, konflik antar agama menyebabkan jatuhnya ratusan korban, termasuk sanak keluarga dan orang tua dekat para korban (dalam video itu). Mereka sebagian besar mengalami trauma dan dendam masa lalu,” ujarnya ditemani Ketua Komnas HAM, Siti Noor Layla.
Ia mengatakan, bahwa kepolisian juga tidak boleh buru-buru memberikan penilaian negatif terhadap mereka. Untuk menyatakan mereka teroris atau tidak, kata dia, seharusnya dilihat dari sisi yang lebih luas.
“Mohon maaf, antara Islam dan Kristen semua bersenjata. Mereka semua bisa membuat tindakan itu (kekejaman). Kalau hanya melakukan stigmasisasi terhadap kelompok tertentu itu kita sesalkan,” ucapnya.
Siane pun mendesak agar Kapolri segera mengusut tuntas terjadinya tindak kekerasan yang berlebihan pada peristiwa 22 Januari 2007 itu sehingga 12 korban tewas yang bukan merupakan DPO dan melakukan otopsi ulang kepada seluruh korban.
(islampos.com/arrahmah.com)