JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Tim Pemantau dan Penyelidikan Tindak Pidana Terorisme Komnas HAM, Siane Indriani menegaskan bahwa ada kekhawatiran di tubuh aparat kepolisian terutama yang berada di daerah menjadi sasaran kemarahan masyarakat akibat perilaku Detasemen Khusus Anti Teror/ Densus 88 yang berlaku arogan dan telah melakukan ekstra judicial killing (pembunuhan tanpa melalui proses penegakan hukum).
Hal itu, ia tegaskan dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah di Jalan Menteng Raya no 62 Jakarta Pusat, Kamis (11/04) siang ini.
Dalam diskusi yang mengusung tema, “Memberantas Terorisme tanpa Teror dan Melanggar HAM” tersebut, Siane menegaskan, “Ada kekhawatiran di tubuh aparat kepolisian di daerah yang kuatir menjadi sasaran pelampiasan kemarahan masyarakat akibat ulah densus 88,” ujarnya.
Siane yang juga sempat melakukan investigasi mendalam ke Poso untuk mengusut video Poso 2007 yang telah ramai beredar di dunia maya ini juga mendapat temuan menarik lainnya. Ia mendapati bahwa aparat Densus 88 rupanya dalam setiap aksi dan operasinya tidak pernah berkoordinasi dan melibatkan kepolisisan setempat. Sehingga, ketika diinvestigasi pihak kepolisian setempat tidak memiliki informasi atau kewenangan apapun terkait korban meski hanya secuil.
Di kubu kepolisian juga, keberadaan Densus 88 seolah membuat pihak kepolisian terpecah. Kepada reporter an-najah.net Siane mengatakan,” Mereka (polisi, red) takut, karena sebagai aparat organik mereka tidak pernah diberitahu apabila ada operasi densus,” terangnya.
Kekuatiran ini dirasa wajar mengingat masyarakat pada umumnya memukul rata antara polisi dengan Densus 88 sebagai satu kesatuan, sehingga apabila ada warga sipil tak bersalah dibunuh oleh Densus 88, maka warga dan keluarga korban menyimpan dendam kepada seluruh polisi.
Selain itu, Siane juga menggaris bawahi ada kesan heroisme yang dilekatkan kepada para pengeksekusi terduga terorisme sehingga mereka yang menjadi korban terorisme seolah-olah pantas dieksekusi dengan pembunuhan via ekstra judicial killing. Disinilah peran media yang membesar-besarkan berita teroris tanpa pelabelan kata ‘terduga’ membuat Densus 88 seolah memiliki kebebasan dalam mengeksekusi para ‘teroris’.
(annajah/arrahmah.com)