DENPASAR (Arrahmah.com) – Anggota Komnas HAM yang sebentar lagi masa jabatan perpanjangannya akan habis, Johny Nelson Simanjuntak, menggalang dukungan publik atas kasus asusila yang menimpa tokoh spiritual cabul Anand Krishna.
“Kami datang ke Bali ini terkait kasasi MA atas kasus Anand karena ada dugaan pelanggaran HAM,” kata anggota Komnas HAM Johnny Nelson Simanjuntak di Denpasar, Kamis (25/10/2012) seperti dimuat Suara Islam On line.
Dalam diskusi “Eksaminasi Publik Kasus Anand Krishna”, dia menggali pendapat umum terkait putusan MA itu, meskipun tidak dalam kapasitas untuk menilai putusan yang dikeluarkan lembaga peradilan hukum tertinggi di Indonesia tersebut.
Menurut Johnny Nelson, ada beberapa mekanisme yang bisa ditempuh jika mekanisme yang ada di Indonesia tidak memberikan rasa keadilan bagi warga. “Kalau hak konstitusional sudah dilanggar, kita bisa menggunakan forum-forum internasional,” ujarnya.
Menanggapi upaya yang dilakukan dengan membawa kasus Anand ke peradilan internasional, dia mengusulkan penyelesaian melalui mekanisme regional.
Hanya saja, sifatnya tidak secara kelembagaan, melainkan lebih pada upaya lobi-lobi yang mungkin bisa dilakukan sehingga pimpinan lembaga dunia tersebut itu bisa mempertanyakan kepada negara atas putusan yang dianggap tidak adil menimpa warganya.
Dalam kesempatan sama, pakar hukum tata negara Universitas Udayana, Dewa Gede Palguna, menilai jika melihat fakta-fakta atas putusan bebas Anand Krishna yang kemudian ada kasasi MA, menggambarkan adanya ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.
“Yang pasti adalah hak-hak bagi pencari hukum mendapat kepastian hukum jika tiba-tiba dibatalkan hanya berdasar pada yurisprudensi hukum, menurut saya ini telah terjadi pelanggaran HAM,” katanya.
Dikatakan, dalam eksaminasi publik tersebut rencananya akan diserahkan kepada Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sebagai masukan dari masyarakat terhadap Kasus yang kontroversial itu.
Dewa Palguna mengatakan, keputusan bebas tidak bisa dikasasi berdasarkan pasal 67 KUHAP berbunyi: “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.”
Acara tersebut dihadiri sekitar 50 peserta, di antaranya beberapa tokoh masyarakat Bali, praktisi hukum, LSM dan puluhan mahasiswa dari berbagai universitas di Bali.
Upaya internasionalisasi kasus Anand Krishna ini dilakukan setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum dan menjatuhkan hukuman penjara selama 2,5 tahun kepada pemimpin Yayasan Anand Ashram, Anand Krishna, karena terbukti telah berbuat asusila.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur, Anand Krishna telah terbukti melakukan tindakan pidana dan mendapat hukuman sebagaimana ketentuan dalam Pasal 294 ayat (2) ke-2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Junto Pasal 64 ayat (1) KUHP tentang perbuatan cabul.
Majelis Hakim Kasasi dalam perkara ini, menurut dia, diketuai oleh Zaharuddin Utama dengan dua hakim agung sebagai anggota yakni Achmad Yamanie dan Sofyan Sitompul.
“Mereka menjatuhkan vonis kepada terdakwa secara bulat. Dengan begitu, putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) sehingga JPU bisa segera mengeksekusi,” kata Ridwan.
Sebelumnya jaksa penuntut umum yang menangani kasus tersebut mengajukan kasasi ke MA karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Anand dari dakwaan melakukan tindak pidana asusila.
Anand menjadi pesakitan setelah seorang muridnya, Tara Pradipta Laksmi, melaporkan bahwa pada 21 Maret 2009 sang guru melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya di Ciawi yang disaksikan oleh satu saksi yaitu Ketua Yayasan Anand Ashram, Maya Safira Muchtar. (bilal/arrahmah.com)
p