JAKARTA (Arrahmah.com) – Upaya kelompok Syiah untuk mencabut melalui upaya judicial Review UU NO 1/PNPS/1965 junto pasal 156a tentang penodaan agama, dinilai oleh anggota Komisi Pengkajian MUI Pusat, Ustadz Fahmi Salim sebagai ketidak fahaman kaum Syiah tentang kategori penodaan agama di Indonesia. Bahwasanya pencelaan terhadap Sahabat Nabi SAW merupakan pelecehan terhadap agama mayoristas di Indonesia.
“Di Iran mungkin saja pelecehan dan cacian bahkan laknat kepada sahabat Nabi suatu hal yang lazim dan bahkan jadi ritual khusus sehingga bukan suatu penodaan agama, tapi untuk Indonesia perilaku semacam itu ditolak oleh umat Islam Indonesia ,” Ungkap Ustadz Fahmi Kepada arrahmah.com, Senin (18/2/2013) Jakarta.
Penolakan tersebut, kata Ustadz Fahmi, karena umat Islam di Indonesia berakidah Islam yang menghormati para sahabat Nabi.
“Sehingga dinilai pencelaan sebagai penodaan atau penistaan ajaran agama Islam yang kita anut karena mengajarkan penghormatan kepada mereka dan melarang cacian kepada mereka (Sahabat Nabi-red),” ucap pria yang juga Wasekjen MIUMI ini.
Kata Ustadz Fahmi, seorang warga Indonesia apalagi mengaku muslim wajib menghormati kaidah dan ajaran Islam seperti itu yang dianut mayoritas bangsa Indonesia. UU PNPS 1965 tentang Penodaan Agama itu sudah tepat dan benar untuk melindungi kebebasan beragama dan bukan kebebasan menistakan agama di tanah air.
“Sebab umat Islam Indonesia dan dunia pada umumnya bermotto “Cinta Allah, Cintai dan Ikuti Rasul-Nya” dan “Cinta Rasul, Cintai dan Ikuti Sahabatnya”, tutupnya.
Seperti diketahui, Toko Syiah Sampang yang tengah menjalani hukuman dalam kasus penodaan agama bersama beberapa nama lainnya, mengajukanpermohonan gugatan Judicial Review UU NO 1/PNPS/1965 junto pasal 156a tentang penodaan agama. (bilal/arrahmah.com)