JAKARTA (Arrahmah.com) – Sejumlah anggota Komisi III DPR RI mengkritik Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait pemblokiran 92 rekening milik Front Pembela Islam (FPI) yang disampaikan kepada publik saat rapat dengar pendapat, yang digelar pada Rabu (24/3/2021).
Dalam rapat dengar pendapat, yang dipimpin langsung oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Adies Kadir dan dihadiri oleh Kepala PPATK Dian Ediana Rae beserta jajarannya, Komisi III DPR meminta PPATK untuk menjelaskan alasan melakukan pemblokiran dan mengumumkan pemblokiran tersebut ke publik.
Kritik pertama disampaikan oleh anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP, Arsul Sani. Dalam kesempatan tersebut Arsul mempertanyakan alasan PPATK melakukan pemblokiran, apakah karena kewajiban hukum atau hanya ikut-ikutan.
“Saya tidak tahu persis apakah ini sebuah kewajiban hukum atau karena ini ikut ikutan saja? Karena FPI ini kelompok yang katakanlah secara positioning politiknya berseberangan dengan pemerintah maka kemudian PPATK sebagai bagian dari atau lembaga yang ada dalam rumpun kekuasaan pemerintahan juga ikut merasa perlu ikut ikutan untuk men-disclose banyak hal terkait FPI,” ujarnya.
Lebih lanjut, Arsul mengkritik PPATK yang disebutnya tidak melakukan hal yang sama pada kasus Jiwasraya dan ASABRI yang jelas-jelas merugikan negara.
“Padahal, pada kasus, misalnya, Jiwasraya, ASABRI, PPATK tidak lakukan hal yang sama. Ini jadi concern kami terus terang, saya tidak tahu apakah pada Jiwasraya dan ASABRI banyak tersangkut juga dengan yang ada di pemerintahan atau yang pernah ada di pemerintahan atau bahkan yang ada di dunia politik,” ungkap Arsul.
Kritik juga disampaikan oleh anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman, yang menyebut berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tidak ada relevansi antara 92 rekening FPI dengan tindak pidana. Dia menyebut itu merupakan rekening yang tidak berhubungan dengan organisasi FPI.
“Karena kalau mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 2010, pasal 2, 3, 4, 5, Pasal 44 ayat 1, objek TPPU itu adalah hasil tindak pidana atau yang diduga hasil tindak pidana, saya mau tau relevansinya apa? Karena informasi yang saya serap itu ada rekening pribadi orang, keluarga yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan organisasi itu, tidak ada di akta dan sebagainya, ada menantu, ada anak,” ucapnya.
“Kalau kita baca UU Ormas juga, ormas yang dibekukan bukan berarti dana yang milik ormas itu otomatis hasil dari kejahatan, tidak ada ketentuan itu, sehingga relevansinya apa penyitaan?” lanjutnya.
Habiburokhman mendesak PPATK untuk membuka pemblokiran 92 rekening tersebut, sebab berdasarkan laporan Bareskrim Polri tidak ada sama sekali ditemukan tindak pidana terkait rekening tersebut.
“Saya pikir ini ada semangat bidang hukumnya restorative justice sehingga tidak memperbanyak spekulasi saya pikir bijak kalau memang tidak ada ini, sudah berapa bulan nggak ada masalah ya dibuka saja, karena itu rekening-rekening pribadi yang menyangkut kebutuhan orang tersebut, kasihan sekali sama seperti kita kalau misal dana kita hanya ada di rekening tersebut lalu dibekukan tentu kesulitan memenuhi kebutuhan,” jelasnya.
Sebelumnya pada Jumat, 4 Maret 2021, Badan Reserse Kriminal Polri menyatakan belum menemukan adanya tindak pidana dalam pembekuan 92 rekening yang berkaitan dengan Front Pembela Islam (FPI).
“Masih terus mempelajari hasil analisa rekening itu. Tapi, sampai saat ini penyidik belum menemukan adanya tindak pidana,” ujar Direktur Tindak Pidana Umum Brigadir Jenderal Andi Rian, sebagaimana dilansir Tempo. (rafa/arrahmah.com)